Orang kepo

35 13 3
                                    


7 Oktober 2001 adalah hari dimana Kailash memulai penderitaannya. Sebenarnya masih belum pasti, karena ibu panti sendiri bilang kalau orangtua Kailash tidak menyebutkan tanggal lahirnya secara spesifik kala itu. Hanya bulan dan tahun lahirnya saja.

Tapi demi menenangkan perasaan Kailash kecil yang kala itu masih lugu, ibu panti menetapkan kalau Kailash lahir di tanggal 7.

Wanita tua itu tidak serta merta menetapkannya. Ada makna dan harapan yang tersimpan dibalik angka 7 itu.

Angka 7 itu dilambangkan sebagai angka yang membawa keberuntungan dan spesial katanya, karena terdapat 7 hari dalam 1 minggu, 7 keajaiban dunia, 7 warna dalam pelangi, dan 7 benua dibumi.

Ibu panti juga bilang kalau ingin wanita itu seperti angka 7 dan Kailash yang selalu beruntung dalam hal apapun.

Ah, rindu sekali diberi banyak bualan hampa oleh wanita itu.

Kailash menghembuskan asap rokoknya, sambil tersenyum culas. "Kira-kira dia masih hidup nggak, ya?"

"Siapa?"

Kailash tersedak asap kala suara asing menyapa rungunya tiba-tiba. Langsung ia memasang mode siaga begitu sadar dengan siapa dirinya berhadapan. "K-kenapa bisa ada disini?!"

Vajendra bersandar di pembatas jembatan dengan santai. Pria itu mengangkat alisnya seolah ikut terkejut dengan pertanyaan Kailash. "Harusnya saya yang kaget kenapa bisa ada kamu. Ini area orang kaya tau."

Belum selesai dengan keterkejutannya, kalimat Vajendra selanjutnya membuat Kailash makin merasa was-was.

"Ngapain juga kamu lama-lama disini? Mau mencuri, kan?"

Mundur dua langkah menjaga jarak aman, laki-laki itu lantas melempar senyum miring. "Lo baru ketemu gue sekali tapi kayak udah tau banget gue kayak gimana, ya?"

Vajendra memandang laki-laki yang lebih muda darinya itu dengan santai. "Bahkan dengan ngeliat kamu sekilas saja, saya sudah tau kamu itu kayak gimana orangnya."

"Kayak gimana emangnya?"

"Cukup 2 hal yang bisa saya simpulkan." Vajendra menegakan tubuhnya tanpa melepas tatapannya dari Kailash. "Miskin dan gegabah,"

Sudut bibir Kailash berkedut menahan kesal dengan penuturan Vajendra yang entah mengapa begitu menyentil.

Kailash memang sudah 2 jam berdiri di Jembatan pusat kota sambil merokok. Tidak melakukan apa-apa, karena memang belum ada mangsa yang pas. Tapi siapa sangka gelagatnya ini diperhatikan oleh orang lain yang sialnya adalah Tuan besar pelaku penganiayaan dirinya dan Juan tempo hari.

Keberuntungan apanya, Bu... Batin Kailash berteriak nelangsa.

"Jadi... siapa?"

"Hah?" Kailash mengerutkan keningnya ketika Vajendra kembali melempar pertanyaan.

Vajendra memejamkan matanya, sambil menarik napas. "Siapa 'dia masih hidup nggak ya' yang kamu maksud?"

Kailash memalingkan wajahnya, "Kepo."

"Kepo?" Vajendra memiringkan kepalanya dengan bingung. Agak asing dengan berbagai bahasa yang Kailash lontarkan. Siapa yang mengajari anak itu berbicara?

Merasa tidak nyaman dengan interaksi mereka, Kailash memutuskan untuk mundur secara perlahan. Sepertinya Kailash harus libur untuk hari ini. Tidak apa, uangnya kemarin masih tersisa 150 ribu.

"Hei," Vajendra menegur Kailash, begitu sadar kalau jarak laki-laki itu perlahan mulai menjauh. "Kamu mau kemana?"

Dan Kailash langsung mengambil langkah seribu begitu Vajendra hendak kembali menghampirinya.

Pria itu menatap lurus ke tempat Kailash berdiri tadi. Ada banyak pertanyaan dibenaknya, dan semua itu mengenai Kailash.

Vajendra memandang kedua tangannya yang gemetar. Pria itu menelan ludahnya dengan susah payah. Dia benar-benar penasaran. Sangat-amat-teramat penasaran.

Sial. batinnya mengumpat.

Untuk sejenak Vajendra melupakan janjinya dengan Killa hari ini, dan malah berbalik menuju kantornya.

-Lakuna-

"Uang untuk apa ini?" Fabregas mengerutkan keningnya, ketika berhasil menangkap amplop coklat yang ia yakini berisi uang.

"Saya penasaran-"

"Nah! Berhenti bicara," Fabregas meletakkan amplop itu keatas meja sang sepupu, kemudian duduk diatas sofa dengan santai. "Aku nggak berminat cari informasi seseorang."

"Fabregas.."

"Kamu bayar detektif saja, bung!"

Kedua mata Vajendra memicing tajam. Dia sangat tidak suka jika ucapannya dipotong seperti itu. "Saya bahkan belum selesai bicara."

Fabregas menghela nafas, "Dengar ya, Vajendra.. Jangan suruh aku cari info tentang seseorang, kamu bisa bayar puluhan detektif untuk itu!"

"Kalau begitu guna-mu apa?"

"Hei--- Sial," Pria itu berdecak kesal. Baik, Fabregas tidak bisa membalas ucapan Vajendra. "Siapa?!" tanyanya kesal.

"Laki-laki yang kemarin mencuri ponsel Killa, kamu cari informasi tentang dia."

Fabregas mengerutkan keningnya. "Apa urusan yang kemarin belum selesai?"

Vajendra membalikkan kursinya, seraya mengangkat bahu. "Cari tau saja."

"Cari tau apa? Kamu mau aku tangkap orangnya?"

"Jangan." Vajendra melirik sepupunya dengan tajam. "Pokoknya cari tau. Apa saja terserah,"

"Aneh." cetus Fabregas. Pria itu berdiri, lalu beranjak dari ruangan Vajendra dengan setengah hati. Beginilah nasib menjadi pengangguran yang bergelayut dilengan sepupu. Fabregas merasa menjadi pesuruh Vajendra kalau begini.

-Lakuna TBC-

Lakuna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang