Orang pernah liat

26 7 0
                                    


Langit terlihat lebih biru dari biasanya. Dibalik kaca tebal yang mengkilap itu Vajendra berdiri. Dengan segelas teh hangat digenggamnya, Pria itu memandangi kondisi jalanan yang sangat padat siang ini.

Helaan nafas berat keluar dari kedua belah bibirnya. Vajendra menghirup kepulan hangat dari tehnya, mencoba mencari 'tenang' dari kesibukannya didalam gedung yang penuh dengan pendingin ruangan ini.

"Permisi, Pak. Ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani." Tania datang dengan setumpuk dokumen yang dilapisi map warna-warni.

"Taruh dimeja, nanti saya cek dulu." balas Vajendra tanpa mengubah posisinya.

Ketika merasa sosok sekertarisnya sudah keluar, Vajendra kembali menghela nafasnya. Tidak ada celah baginya untuk bersantai. Ada banyak harap dipundaknya, jadi Vajendra tidak akan membiarkan satu orang 'pun kecewa dengan kinerjanya.

Pria itu menyeruput sedikit teh yang sedari tadi hanya ia hirup hangatnya.

Netra tajamnya memperhatikan berbagai nasib diluar sana. Ada pria tua yang susah payah menarik gerobaknya, anak kecil yang menggoyangkan botol plastik berisi beras dibawah lampu merah, sosok berselimutkan pewarna silver yang sibuk berdiam diri dibawah terangnya matahari, dan laki-laki berkemeja maroon yang terlihat merokok santai didepan toko bunga.

Vajendra berkedip dua kali menangkap objek yang mencolok dimatanya. Sedang apa dia? Apa pemuda itu benar-benar tinggal disekitar kantornya? Dimana?

"Kailash.." Vajendra berbisik tanpa melepas pandangannya dari laki-laki berkemeja maroon itu.

Sejak pertengkarannya dengan Killa tempo hari, Vajendra mulai mengetahui nama laki-laki itu. Lebih tepatnya ketika teman pencurinya berteriak mengatakan 'Kailash!'.

Vajendra belum bertemu lagi dengan Kailash sejak malam itu, 'pun dengan Killa. Ah, kekasihnya itu pasti masih marah, dan Vajendra tidak mencoba untuk membujuknya seperti biasa.

Wanita itu terlalu sering marah tanpa sesuatu yang berdasar. Killa-nya tampak lebih sensitif belakangan ini.

Alis Vajendra terangkat, melihat Kailash yang tampak tidak acuh ketika sosok anak kecil terjatuh tepat didepannya. Laki-laki itu menghembuskan asap rokoknya, tanpa ada niat untuk membantu anak itu berdiri.

Tak lama wali dari anak itu berlari kecil menghampiri tempat kejadian, sembari berusaha menenangkan tangis sang buah hati.

Birai Vajendra berkedut melihat itu. Kailash benar-benar apatis, dan entah mengapa dadanya berdenyut aneh karena itu. Pria itu seperti melihat dirinya, namun dengan nasib yang berbeda.

"Permisi, Pak."

Suara dari balik pintu, membuat Vajendra mengalihkan pandangannya yang sejak tadi terpaku pada satu objek. "Masuk."

Pintu tebal nan mahal terbuka. Sosok supervisor bagian marketing masuk kedalam dengan sebuah map bening ditangannnya. "Saya mau memberikan laporan akhir bulan, Pak."

"Taruh dimeja, nanti saya cek." kalimat yang sama kembali Vajendra keluarkan. Pria itu kembali berbalik menghadap jendela, dan wajahnya seketika berubah masam kala sosok yang sejak tadi ia amati sudah hilang entah kemana.

"Permisi, Pak Vajendra."

Mendengar kalimat pamit tanpa dosa dari bawahannya, kilatan tajam mata Vajendra langsung beralih secepat cahaya, "Pak Galih!" panggilnya.

Si supervisor langsung mengurungkan niatnya untuk bergegas. Wajah tegang ia tampilkan, saat sang bos mulai berjalan kearah meja, memeriksa laporannya.

"Kenapa penjualan tim bapak turun bulan ini? Apa ada kendala?" Vajendra menautkan kedua alisnya, nampak tidak puas dengan setiap diagram batang yang tertera diatas kertas itu.

"Kendalanya ada dipromo bulanan, Pak. Klien tidak tertarik, karna harganya kurang bersaing dengan produk tetangga."

Vajendra yang dasarnya sudah dongkol, tentu tidak akan semudah itu menerima penjelasan dari bawahannya.

Pria itu menatap sang supervisor dengan tajam. "Itu tugas kalian sebagai marketing, bagaimana kalian bisa meyakinkan klien untuk tetap membeli produk kita, walaupun dengan harga yang relatif tinggi dibanding produk sebelah."

Galih memejamkan matanya sejenak, menerima omelan sang bos dengan perasaan tabah.

"Kalau promo terlalu besar, kalian mau digaji pake apa? Mau gajinya flat setiap tahun?"

Anggukan paham yang bergerak kaku dari bawahannya, membuat Vajendra menghembuskan nafas kesal. "Pak Galih boleh keluar."

"Akan saya evaluasi agar bulan depan memuaskan, Pak. S-saya permisi!"

Vajendra memandangi tiap angka-angka yang tercatat didalam laporan bulanan itu, lalu mengeluarkan decakan. Sebenarnya pencapaian tim marketing tidak seburuk itu, ia hanya sedang kesal.

Kesal karena Galih si supervisor itu membuatnya mengalihkan pandangan, hingga kehilangan sosok yang beberapa waktu belakangan ini membuatnya penasaran.

-Lakuna-

"Haus." Kailash mengeluh, sembari melempar sisa rokoknya ke aspal.

Laki-laki itu beranjak dari tempatnya bersantai sejak tadi, berniat membeli sebotol minuman isotonik untuk memuaskan dahaganya.

Sesampainya di warung, Kailash membuka kulkas hendak meraih botol minuman yang hanya tersisa satu itu. Alis camarnya bertaut tidak senang, kala ada tangan lain memegang botol itu.

Kailash mengangkat pandangannya, melempar tatapan tajam kearah pemuda yang tangannya masih memegang botol minuman itu.

"Maaf, boleh saya aja yang beli?"

Kailash tentu tidak tersanjung dengan ucapan sopan dari pemuda dengan setelan kantor itu. Tangannya masih menahan botol itu agar tetap ditempatnya. "Tapi gue duluan yang pegang." jawabnya sinis.

Pemuda itu meringis, sembari melihat jam tangannya. "Saya buru-buru, waktu istirahat saya mau habis. Jadi boleh saya aja yang beli?"

Masih dengan pertahannya, Kailash menggeleng tegas. Atensinya menangkap ID Card yang nampak familiar, laki-laki itu seperti pernah melihatnya entah dimana.

Raka Adinara.

"Kayak nggak asing sama wajahmu." Pemuda itu ikut-ikutan mengeluarkan isi pikirannya yang sama dengan Kailash.

"Sama." balas Kailash tak mau kalah.

"Saya bayar, deh." pemuda bernama Raka itu merogoh sakunya, lalu mengulurkan uang pecahan 50.000 pada Kailash menggunakan tangan kirinya. "Maaf pakai tangan kiri," katanya.

Kailash mengerutkan keningnya, namun perlahan pegangannya pada botol isotonik itu terlepas, dan beralih memegang uang berwarna biru yang disodorkan padanya.

Ah, uang memang tampak lebih menarik dimata bandit itu.

Puas dengan reaksi Kailash, Raka lantas melempar senyum ringannya. "Makasih, ya. Kapan-kapan saya traktir deh, kalau ketemu lagi."

Kailash mengabaikan ucapan pemuda didepannya. Laki-laki itu menyeringai, lalu mengambil minuman lain dari dalam kulkas seolah tidak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan si budak coorporate itu sebelum pergi.

"Sering-sering deh gue rebutan minuman sama orang kantoran." cetus Kailash dengan wajah cerahnya.

-Lakuna TBC-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lakuna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang