02 | Canes Venatici

9 0 0
                                    

Sinar matahari menyusup melewati jendela, memberi pelukan hangat pada Hugo yang tertidur dengan pensil dan buku catatan dalam genggamannya. Tubuhnya yang menyadari hal tersebut mendorong Hugo untuk terbangun. Dengan kekhawatiran ia segera membersihkan dirinya, mandi, dan sarapannya yang hanya sebuah roti seperti sudah biasa berada pada perutnya. Setelah merasa sudah selesai, ia beranjak pergi menuju kampus.

Pikirannya sibuk mencari bus yang dapat membawanya ke tempat tujuan. Tetapi ada satu hal yang membuat ia teralihkan pada saat itu.

Wangi bunga yang kemarin..

Hugo menoleh-noleh ke sekitar hingga sebuah toko bunga menangkap perhatiannya. Namun pikirannya berpicu dengan bus yang baru datang. Ketika ia menyadari bus tersebut telah penuh, dengan helaan napas panjang ia memutuskan untuk mengunjungi toko bunga untuk sebentar saja, selagi menunggu bus selanjutnya datang.

Ia mengintip dari luar dan perlahan memasuki toko tersebut, dari etalase hingga bagian dalam ruangan penuh dengan bunga. Pot-pot cantik bergelantungan pada bagian atasnya. Ia menatap kumpulan bunga tersebut dengan kagum sembari berjalan masuk perlahan hingga ia menangkap sesuatu di matanya, warna biru yang merebak keluar dari balik kelopak bunga lain yang menutupinya.

Bunga tersebut terletak di sudut ruangan, seakan bersembunyi dari padatnya kehidupan.. Pada ujung kelopaknya bertabur kelip putih, bak gemerlap cahaya bintang dengan bagian tengahnya yang tertutup oleh gradasi biru. Hugo mengernyitkan dahinya keheranan, tidak pernah ia melihat bunga seperti ini sebelumnya. Tapi di sisi lain, bunga ini memang mempesona. Siapapun akan tertarik untuk membawa atau menyentuh kelopaknya.

Tunggu, mungkin sengaja disembunyikan karena beracun..?

Tangannya yang mencoba meraih kelopak berhenti di tengah jalan. Penasaran, ia ingin bertanya kepada sang pemilik toko bunga. Hingga gerakan seseorang tertangkap penghujung matanya.

Mulutnya sedikit terbuka, terkejut karena sang wanita yang ia temui kemarin berada di hadapannya tengah menata pot bunga. Sebelum ia menghampiri wanita tersebut, naas, bus yang ditunggunya telah datang. Dengan sedih ia menunda niatnya lain waktu. Ia bergegas berlari keluar dari toko dan menaiki bus.

Hugo melewati pertemuan dan kelas seperti biasanya, sesekali menghabiskan waktu di bawah pohon wisteria sambil membaca buku, seperti yang dilakukannya saat ini. Dari kejauhan terlihat seorang wanita dengan rambut hitamnya yang semampai pundak berlari ke arah Hugo, syal jingga yang terlilit di lehernya terlihat terombang-ambing. Ia adalah Rania Adiratna, teman sekelas Hugo.

"Hugo! Ah, disini rupanya."

"Hei Rania.. ada apa?"

"Ada seseorang yang mencarimu.. ia bilang berasal dari kepolisian. Oh Hugo, apa yang telah kamu lakukan?" Ujar Rania selagi terkikik.

Hugo terdiam sebentar, ia mengernyitkan keningnya.

"Polisi?? Itu tidak lucu Rania.. Serius, apa yang dia mau dariku?"

"Dia tidak mengatakannya lebih lanjut tentang itu, oh, omong-omong kamu diminta menghampirinya di koridor depan perpustakaan."

"Depan perpustakaan..? baiklah kalau begitu, terima kasih ya." Hugo bangkit dari duduknya, ia melirik kepada Rania sekejap.

"Ini bukan bercanda kan?"

"Ya ampun sudah sana pergi, aku serius!"

Hugo tersenyum kecil dan meninggalkan Rania untuk menuju perpustakaan. Walaupun begitu, tetap saja hatinya merasa gundah.

Mantel biru tua yang panjang dan rambut hitam pendeknya bergerak mengikuti semilir angin. Dilihat dari perawakannya, ia tampak seumuran dengan Hugo, namun ada aura yang membuatnya terkesan lebih dewasa. Hugo menghampiri pria tersebut perlahan sembari memberikan senyuman simpul padanya.

"Kamu pasti Hugo, perkenalkan namaku Nikolai Finley. Aku dari Department Kepolisian Cambridge." Ujarnya sambil memerlihatkan kartu nama, ia menawarkan tangan kepada Hugo setelahnya.

"Senang bertemu denganmu, Mr. Finley. Kalau boleh tahu, apa alasan yang membawamu kemari..?" Tanya Hugo sembari menjabat tangan Finley.

"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan kepadamu." Matanya yang tajam melihat Hugo dengan fokus.

"Apa kamu tahu soal kebakaran di gedung Aztec Laboratory 6 bulan yang lalu?"

Hugo terdiam sejenak dan mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk berpikir.

"Aztec..Laboratory? aku pernah dengar desas-desusnya tapi.. untuk detailnya aku tidak tahu, maaf."

"Hmm.." Finley mengusap dagunya sedikit, ia berpaling melihat ke bawah.

"Aneh, karena namamu berada di antara orang yang pergi ke lab itu."

"Namaku.. tunggu, apa??" Hugo melebarkan matanya karena terkejut.

"Kami mendapatkan daftar orang-orang yang berada pada waktu kejadian. Namamu ada di salah satunya. Apa yang kamu lakukan di sana hari itu, Hugo?" Ujarnya mengembalikan pandangannya kepada Hugo.

"Aku.." Hugo memegang kepalanya, ia terdiam sejenak.

"Maaf aku tidak punya jawaban untuk itu. Aku.. mempunyai amnesia. Hal yang kuingat hanyalah kehidupan kampus.. saat ini aku menjalani rehabilitasi juga." Jawab Hugo dengan lirih.

"Kamu tidak ingat apa pun yang kamu lakukan disana?"

"Sir.. aku berani bersumpah, aku tidak ingat apapun. Tidak ada alasan juga untukku pergi ke tempat itu."

"Hugo, kami menemukan bukti bahwa kebakaran itu sengaja dilakukan. Dan dari deskripsi saksi mata, tersangka itu mempunyai ciri-ciri yang mirip denganmu." Jawab Finley tegas.

"Disengaja?? Aku.. aku baru tahu... tapi percayalah, aku bukan kriminal! tidak mungkin bagiku untuk melakukan hal seperti itu!"

"Kita tidak bisa menebak pikiran orang, bukan?"

Ucapan dari Finley membuat Hugo terdiam seketika.

"Kami akan melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai kasus ini. Jika kamu benar-benar mengidap amnesia, aku akan membutuhkan surat riwayat penyakitmu dan penjelasan dari dokter ahli untuk mencari tahu alasanmu kehilangan ingatan. Untuk sementara aku berharap kamu dapat bekerja sama dalam investigasi ini." Lanjutnya.

"Aku akan lakukan apapun.. untuk membuktikan bahwa aku tidak bersalah, sir. Aku tidak tahu mengapa aku bisa berada di lab tersebut, tapi aku bersumpah, bukan aku yang memulai kebakarannya."

"Aku akan memegang ucapanmu, Hugo. Mungkin untuk sekarang hanya itu, aku mengharapkan kontribusimu kedepannya. Sampai jumpa lain waktu." Finley membungkukan badannya sedikit dan berjalan meninggalkan Hugo.

Dalam perjalanan pulang, Hugo duduk termangu menatap keluar jendela bus. Rasa khawatir tidak mau beranjak dari benaknya.

Yang hanya bisa ia pikirkan adalah kemungkinan terburuk jika perkataan detektif itu merupakan kenyataan.

The Stars Sweet ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang