01 | The Lyrids Meteor Shower

13 0 0
                                    

Cambridge, April 1986.

Hugo Dreymond, pemuda berkacamata bulat dengan rompi rajut itu tampak tergesa-gesa dengan membawa beberapa buku di satu tangannya, tangan kiri berusaha melindungi buku-buku tersebut dari hujan yang turun. Suara pijakannya pada genangan air bergema di jalan yang gelap dan sunyi. Ketika sadar air yang turun bertambah deras, ia memutuskan untuk melindungi dirinya dengan berteduh di salah satu toko pada pinggir jalan.

Rambut blonde dengan ujung yang menyentuh telinga kini basah oleh hujan. Ia berusaha menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi pandangannya sembari termenung menatap taxicab yang berlalu lalang dengan sorot lampu yang sesekali menyilaukan mata. Dengan sapu tangan ia menyeka air yang mengenai buku-buku di genggamannya.

Kalau sekali lagi basah, mungkin aku tidak diizinkan untuk meminjam buku lagi..

Ia mendengus kecewa, matanya mengecek tiap detil pada bagian buku untuk memastikan tidak ada yang basah kuyup maupun rusak.

Saat ia sadar akan harum bunga yang menggelitik hidungnya, ia menoleh ke sumber tersebut. Rambut panjang cokelat yang basah namun tetap terlihat elegan dengan gelombangnya, pita ungu menghiasi belakang kepala untuk mengikat sebagian rambutnya. Blouse putih dengan rok hitam panjangnya ikut basah karena hujan bahkan ada sedikit lumpur pada bagian bawah roknya, apakah wanita ini tengah tergesa-gesa oleh sesuatu sehingga tidak memedulikan lumpur yang terciprat dari hasil pijakan kakinya?

Namun yang membuat Hugo terpana ialah violet pada matanya, tertutup dengan kelopak mata yang sayu.. mengingatkannya kepada pohon wisteria yang ada pada taman kampusnya, tempat ia sering menghabiskan waktu untuk sekedar termangu maupun membaca buku adalah dibawah pohon tesebut. Rasa familiar seperti mengguyur hatinya saat itu, namun ketika tersadar, ia dengan cepat menolehkan pandangannya ke arah lain, tidak mau membuat wanita tersebut merasa gelisah karena tatapan Hugo kepadanya.

Beberapa menit telah berlalu, namun suara hujan terdengar semakin menderas. Hugo menghela napas, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini selain menunggu hujan berlalu. Wanita di sebelahnya pun mengernyitkan dahinya seakan tidak senang dengan situasi yang dialaminya sekarang. Merasa bosan, Hugo mencoba menyejukan suasana dengan berbicara kepada wanita tersebut.

"Hujannya tidak reda-reda ya?" Ia terkikik kecil.

Wanita di sebelahnya menatap hujan dengan pandangan kosong, memilih untuk tidak menjawab basa-basi Hugo. Hugo merasa sedikit malu karena hal tersebut. Ia menoleh ke sekitar toko di belakangnya dan menemukan bangku kayu tergeletak di dalam. Hugo menghampiri dan mengambil bangku tersebut lalu menaruhnya di dekat sang wanita.

"Apa kamu mau duduk? Sepertinya lelah kalau berdiri terus." Tanyanya sopan.
Wanita tersebut akhirnya menoleh kepada Hugo.

"Tidak terimakasih, rokku akan kotor terkena tanah jika duduk." Jawabnya.

"Oh, iya juga.. maaf." Balas Hugo sembari menggaruk belakang kepalanya. Percakapan ini semakin membuat dirinya seperti orang aneh pikirnya. Sayangnya tidak ada orang lagi yang berteduh untuk diajak bicara. Bangku yang dibawanya dibiarkan tergeletak di belakang, tidak ada satupun dari mereka yang mendudukinya.

Menit kembali berlalu, sang wanita bergegas pergi ketika tahu hujan mulai mereda. Hugo yang menyadari redanya hujan turut melanjutkan perjalanan menuju flat tempat rumahnya berada. Ia memutar kenop pintu depan dan menyapa sang pemilik gedung.

"Ms. Nancy, selamat malam." Ujarnya dan melempar senyuman hangat.

Wanita yang tengah duduk selagi membaca koran tersebut berpaling kepada Hugo, kerutan pada wajahnya terlihat seperti wanita di umur 60-an, namun paras lembutnya menutup kerutan tersebut.

"Malam Hugo, lain kali kalau pulang lebih larut dari hari ini bisa terkunci diluar, lho." Jawab Ms. Nancy dengan senyuman kecil di wajahnya. Hugo yang mendengarnya terkikik.

"Jangan khawatir, lain kali mungkin aku pulang saat pagi saja." Ucap Hugo dengan tawa sembari melanjutkan langkah menuju ruangannya.

Hari kian mendekati tengah malam, Hugo sibuk membolak-balikkan lembaran kertas pada buku yang dibawa sebelumnya. Perhatiannya teralihkan oleh suara radio yang memberitakan akan turunnya hujan meteor Lyrid pada malam ini. Ia beranjak dari kursi dan menghampiri teleskop di sisi jendelanya yang terbuka. Beruntung ruangannya berada pada lantai 3, jadi tidak terlalu sulit baginya untuk melihat meteor tersebut tanpa dihalangi cahaya hikuk-pikuk masyarakat kota.

Menyaksikan dan mengamati langit malam selalu menjadi hobinya sejak dulu, alasan inilah yang menjadikannya sebagai mahasiswa kosmologi, bahkan Hugo dapat mendaftar oleh beasiswa karena kepintarannya. Tangannya memastikan tidak ada kerusakan dan mengatur lensa pada teleskopnya. Setelah menunggu beberapa lama sembari melawan rasa kantuknya, ia disadarkan akan cahaya yang melintas pada langit malam. Sorot matanya berkilau-kilau menyaksikan pemandangan tersebut, ia bergegas mengintip melalui teleskopnya sembari sibuk menulis pada buku catatannya.

Namun jika planet dan angkasa menjadi hobi yang disukainya, mengapa hatinya seketika merasa sesak ketika menyaksikan meteor jatuh tersebut?

The Stars Sweet ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang