Matheus terlonjak dari tempat tidur saat ibunya mulai menggedor-gedor pintu kamar. Ia mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja belajar. Seketika ia langsung menatap horor benda di depannya itu.
"Sial, gue udah bilang ngumpulnya pagian tapi gue telat." Ia buru-buru mengambil handuknya dan dengan segera lari ke kamar mandi. "Siap dihujat ini mah."
"Kak kamu--eh, jangan lari-lari! Itu deket kamar mandi licin lantainya." Ibu Matheus hanya menatap geli kelakuan anaknya yang tumben telat.
Matheus keluar dari kamar mandi sambil mengancingi seragam yang di kenakannya. Ia mengacak rambutnya saat sekilas melewati cermin sambil menggumamkan 'bodo amat'. Dengan segera Ia menyambar tas di kamarnya dengan sekali gerakan dan menuju ke arah rumah. Matheus memakai sepatu dengan seadanya. Ia tidak mengikat tali sepatunya. Hanya di selipkan di dalam sepatu.
Saat sudah di garasi rumah, Ia berdecak kesal. Ia lupa membawa kunci motornya. Matheus kembali masuk untuk mengambil kunci motornya.
"Nyari ini?" tanya ibu Matheus sambil mengangkat kunci motor itu.
Dengan cepat ia menyambar kunci motor itu dari tangan ibunya. "Makasih, Ma!" teriak Matheus sambil berlari menuju garasi dan mulai pergi dengan mengendarai motornya.
Matheus tak henti-hentinya berdecak kesal selama perjalanan ke sekolah.
Dirinya lupa menyalakan alarm kemarin malam karena begadang. Kali ini bukan karena ia yang sibuk mengurusi class meeting atau yang lainnya. Ini karena adiknya yang baru saja lulus SD, ingin mencoba Penerimaan Peserta Didik Baru secara daring. Mau tak mau--dan juga karena hasutan ibunya yang akan memberikan uang bensin yang lebih--ia mengajari adiknya itu.
Namun, pada akhirnya, hanya dia yang kesal karena server eror. Sedangkan adiknya malah ketiduran dan saat bangun pagi, semua sudah di selesaikan oleh Matheus. Matheus sedikit kesal lantaran adiknya sudah diterima di SMP sawasta yang namanya cukup terkenal, tapi masih ikut pendaftaran daring itu.
Matheus masih berada di atas motornya dengan hati kesal dan gelisah seraya menatap kemacetan yang ada di hadapannya. Ia melihat jam yang ada di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, sambil --lagi-lagi-- berdecak.
"Sial."
***
"Kamu ini ketua OSIS, Matheus..." ucap pembina OSIS dengan tajam.
"Maaf, Bu..." Matheus tertunduk sambil berdiri di hadapan pembina OSIS.
"Masih ada semester depan buat kamu menjabat. Kasih contoh yang baik buat temen-temen sama adek kelas kamu," pesan pembina OSIS itu, masih dengan perkataan yang tajam.
"Iya, Bu." Hanya itu kata-kata yang sanggup dikatakan Matheus.
"Ya udah. Sekarang bantuin temen-temen kamu yang lagi ngurusin class meeting hari ini. Pembukaan tadi udah digantiin sama wakil kamu." Setelah perkataan terakhirnya itu, sang pembina OSIS pergi dari hadapan Matheus sedangkan Matheus hanya mendengus sebal.
Tanpa di sangka tawa langsung menyembur dari dua orang di belakangnya Rega dan Lintang yang memang dari tadi mengupingi perbincangan--atau lebih pantas di sebut omelan--tadi. Mereka memang bersembunyi di dekat tangga sehingga tidak terlihat.
Awalnya hanya Rega yang menguping karena memang ia sedang mencari temannya itu, yang belum juga hadir dari tadi. Namun, Lintang yang tidak sengaja lewat, menatap Rega curiga dan mulai mengikuti arah pandang Rega. Akhirnya, dia juga ikut bersembunyi bersama Rega.
"Bagus, ketawa terus, ketawa," sindir Matheus dengan muka masam.
"Gue memutuskan untuk nggak nyesel milih lo kalo ada pertunjukan kayak gini," ujar Lintang setelah usai dari tawanya. Rega mengjentikkan jarinya tanda setuju dengan Lintang.
![](https://img.wattpad.com/cover/43211184-288-k154008.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gulungan Rasa
Truyện NgắnBeberapa hari terakhir, Matheus mendapat gulungan. Beberapa gulungan kertas lipat dengan berbagai motif dan stiker yang berbeda. Masalahnya bukan ada di gulungan itu. Tapi, tulisan tangan di dalamnya.