Langkah kaki Matheus terdengar dari arah koridor. Sekolah yang memang sudah mulai sepi karena jam pulang sekolah sudah berakhir sejak satu setengah jam yang lalu. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang OSIS. Di dalam sana, sudah tidak ada orang lagi. Matheus melempar kecil folder berwarna biru yang dari tadi di bawanya ke atas meja dengan tulisan 'Ketua OSIS' lalu segera beranjak dari ruangan itu.
Ruangan itu sangat sederhana. Tidak sebesar ruang kelasnya. Hanya ada beberapa meja yang diisi oleh pengurus OSIS inti. Karena itu, ruang rapat yang barusan dipakai merupakan salah satu ruang kelas.
Setelah pulang sekolah tadi, ia memang tidak langsung pulang ke rumah. Ia harus mengadakan rapat OSIS dadakan yang diperintahkan oleh guru pembina OSIS. Rapat yang membahas pekan class meeting itu rupanya cukup memakan banyak waktu. Apa lagi banyak yang berbeda pendapat di rapat kali ini. Itu semua membuat Matheus sebal sekaligus bingung. Tidak hanya ada pendapat dari pengurus inti, pengurus dari berbagai bidang pun mengikuti rapat ini.
"Mat, langsung balik?" tanya Rega, teman sejawatnya yang juga menjabat sebagai salah satu pengurus OSIS.
"Iyo," jawab Matheus singkat.
"Ya udah, sono gih balik!" perintah Rega sekenanya.
Matheus mendekati Rega yang berdiri di tembok koridor. Saat setibanya di hadapan Rega, ia mendorong kening temannya itu. "Toil, lu. Lu nanya, lu juga yang ngusir."
Rega hanya memasang wajah sok kesakitan dengan memegangi keningnya itu setelah memasukkan handphone yang sedari tadi di pegangnya ke kantong celana. Matheus yang melihat gelagat temannya yang satu ini hanya berkacak pinggang sambil sesekali berdecak.
"Le-bay. Pantesan aja Lidya agak nggak mau--bukan deng, emang mutlak nggak mau--sama lo. Dia terlalu bagus kalo di banding sama lo. Nggak pantes. Mungkin kalo sama gue baru pantes," ujar santai Matheus tanpa rasa bersalah.
Seketika saat Matheus menyelesaikan bicaranya, mata Rega melebar, merasa tidak terima dengan apa yang di katakan temannya barusan. "Apa-apaan lu. Gue cerita dia ke elu bukan berarti lu juga boleh suka sama dia, toil."
"Tenang aja kali..." Matheus mengibas-ngibaskan tangannya di udara, "Lidya bukan tipe gue."
"Baguslah."
"Tapi boong."
Rega memicingkan matanya. Matheus yang ngeri langsung meralat kata-katanya, "Enggak-enggak. Sensi banget lo."
Matheus berdiri tegap bersiap untuk berjalan menuju tempat motor sport-nya di parkir. Ia melirik jam tangannya yang memperlihatkan pukul 17.25.
"Balik ah. Udah sore. Lo masih mau nangkring di situ atau balik?" tanya Matheus kepada--siapa lagi sosok di hadapannya selain--Rega.
"Ayok lah." Rega menyusul langkah temannya yang lebih dahulu berjalan itu.
Mereka berjalan dalam diam. Sesekali, Rega melirik ponselnya, memeriksa apakah ada pesan atau telpon yang masuk. Sedangkan Matheus hanya membenahi posisi ransel yang hanya ia gendong di satu bahu. Mereka berjalan melewati koridor, menuju gerbang keluar gedung sekolah. Belum mencapai gerbang keluar area sekolah.
Mereka berpisah di tempat parkir karena motor mereka terpisah tempat parkirnya. Parkiran tersebut sudah sepi. Hanya ada beberapa motor yang sepertinya adalah milik guru, OB, maupun satpam.
"Bro, gue duluan!" teriak Rega yang di balas acungan jempol oleh Matheus.
Matheus sudah memakai jaket dan helmnya, tinggal menyalakan motor dan ia akan pergi dari tempatnya itu. Sampai, ia menyadari ada sesuatu di dekat kontak starter-nya. Benda itu terselip di antara bagian depan motor, lebih tepatnya antara spedometer dengan kontak starter.
Dengan segera ia mengambil benda itu dan memasukkannya ke dalam saku kemeja seragam. Ia takut benda itu hilang di jalan sebelum ia melihatnya apabila ia masukkan ke kantong jaket.
Matheus merapatkan kembali jaketnya dan menutup kaca helmnya. Dengan sekejap ia sudah keluar area sekolah, kembali ke rumahnya.
***
Matheus merebahkan dirinya di atas kasur setelah membersihkan diri. Ia juga sudah membagi tugas kepada pengurus OSIS mengenai class meeting lewat grup salah satu media sosial yang umum dipakai para pengurus OSIS.
Ia baru saja akan terlelap pulas sebelum ia menyadari sesuatu yang hampir saja ia lupakan. Dengan segera Matheus bangkit dari tempat tidur dan menghampiri jaket yang sengaja ia sampirkan di kursi belajarnya.
"Kok nggak ad--oh di kantong seragam," gumamnya.
Kali ini, ia pergi menghampiri keranjang yang berisi pakaian kotor di dekat kamar mandi. Setelah menemukan seragamnya, ia langsung merogoh kantong baju itu. Tangannya segera keluar dan kembali memasukkan baju seragam itu setelah menemukan benda yang ia cari--benda yang saat sepulang sekolah ia temukan di bagian depan motornya.
Matheus duduk di tepian kasur. Badannya membungkuk, memperhatikan benda tersebut. Ia beberapa kali memutar benda itu. Benda seperti sedotan kertas dengan panjang sekitar sepuluh senti meter itu. Di bagian luarnya terdapat pola garis diagonal berwarna hitam putih. Di salah satu sisi, terdapat seperti sambungan yang hanya di rekatkan oleh stiker sederhana berbentuk hati dengan warna pink bertambah sedikit gliter mengkilap.
Lalu, ia sadar kalau benda itu buka sedotan kertas, melainkan sebuah gulungan kertas.
Matheus masih menatap lekat benda itu. "Gulungan? Dari siapa coba?" tanyanya sendiri dengan sedikit bergumam.
Ia melepas stiker hati yang untungnya tidak terlalu lengket sehingga gulungan kertas itu tidak robek.
Sambil membentangkan gulungan itu, ia berbicara sendiri dengan suara yang samar, "Orang iseng nggak akan seniat ini."
Benar saja. Benda itu adalah gulungan kertas lipat bermotif yang bagian putih di belakang kertas tersebut, ditulisi sesuatu. Mata Matheus masih lekat membaca kata-kata yang tertera di belakangnya.
Ya mungkin agak klise sih caranya. Tapi cuma ini yang berani aku perbuat. Aku nggak punya cukup keberanian.
Jadi, biarkan aku dengan kertas dan pena membuat gulungan ini untukmu. Percayalah setiap dari gulunganku menyampaikan isi hatiku yang terdalam.
Deklinan, garis yang terbentang terbentang dari utara.
Matheus mengerutkan kening dengan masih menatap tulisan tangan yang disusun sedemikian rupa supaya muat di kertas lipat itu. Ia menggelengkan kepalanya samar. Setelahnya ia menggulung kertas itu seperti semula, lengkap dengan menempelkan stikernya. Matheus memasukkan gulungan itu ke dalam gelas kosong yang barusan ia pakai untuk meminum air putih. Kebetulan, gelas itu memang belum ia kembalikan ke dapur. Gelas itu di letakkannya di sudut meja bersama dengan beberapa buku.
Matheus kembali berbaring di atas kasurnya. Ia telah mematikan lampu kamarnya dan bersiap menuju alam mimpi. Namun, sekarang ia masih menatapi langit-langit kamarnya sambil tersenyum miring.
"Penggemar rahasia, huh? Adek kelas kali, ya. Klise banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gulungan Rasa
Historia CortaBeberapa hari terakhir, Matheus mendapat gulungan. Beberapa gulungan kertas lipat dengan berbagai motif dan stiker yang berbeda. Masalahnya bukan ada di gulungan itu. Tapi, tulisan tangan di dalamnya.