Gadis dengan rambut panjang yang diikat kuda itu baru saja meletakkan tas di tempat duduknya. Ia baru saja ingin beranjak dari tempatnya sebelum ada tangan yang menariknya duduk kembali. Mau tak mau, Lintang--nama gadis itu--menoleh kepada sang pemilik tangan yang duduk di sebelahnya.
"Apa?" tanyanya datar.
Orang di hadapannya menyengir lebar dengan wajah yang kelihatannya membuat Lintang muak. "Minjem catatan kimia, dong. Gue belom buat."
Linta berdengus kesal. "Buat apaan? Udah kelar dah kayaknya penderitaan tugas kita. Tinggal class meeting, kan?"
"Tugas remedial." wajahnya mulai memelas.
"Kayak gitu jadi ketua OSIS. Mau jadi apa sekolah ini Mat?"
Walaupun wajahnya terlihat enggan, Lintang tetap mengambil buku di dalam tasnya dan melempar ke meja sebelahnya. "Itu. Untung gue masih kerajinan bawa catetan." Lanjutnya dengan nada datar.
"Tararengkyu," ucapnya dengan cengiran lebar. Lintang baru saja melenggang pergi sebelum ada yang datang, lagi.
"Ngapain lu?" Lintang menaikkan alisnya melihat Rega yang membawa buku catatan dan juga pulpen.
"Liat juga," ucap Rega singkat.
Lintang melenggang menuju gerombolan teman-temannya. Tapi di tengah jalan langkahnya terhenti dan seketika menengok ke arah Matheus dan Rega. "Bayar," ucapnya sedikit kencang sehingga kedua temannya--Lintang sendiri kadang tak yakin kalau mereka temannya--menengadah ke arah Lintang sambil berdengus serta mencebik.
***
Bel istirahat berbunyi, tanda waktu istirahat telah usai. Matheus yang baru saja datang dari luar kelas langsung menuju tempat duduknya. Sekilas ia melihat bangku sebelahnya yang masih kosong. Ia baru saja akan duduk sampai ia melihat gulungan yang hampir mirip dengan gulungan yang ia dapatkan sekitar dua hari lalu.
Ia mengambil gulungan itu dan segera duduk. Matanya berkeliling ruangan kelas dengan harapan menemukan si pelaku namun tak lama ia mengamati kembali gulungan kertas. Kertas lipat itu sekarang memiliki warna abu-abu dengan motif lingkaran berbagai ukuran dengan berbagai warna. Tak lupa ada stiker layang-layang yang melekatkan ujung gulungan.
Baru saja dia ingin membuka gulungan itu, gerakannya terinterupsi oleh suara bangku di sebelahnya. Sang pemilik tempat duduk masih memperbaiki penampilan seragamnya.
"Tang..." panggil Matheus.
Orang yang di panggil hanya menggumam malas. Dari tadi, Lintang terlihat tidak suka dan sedikit sarkastik dengan Matheus. Namun, bukan berarti ia membecinya. Lintang sudah kenal dengan Matheus dari kelas satu SD--berhubung mereka satu SD--sampai sekarang.
"Lu tau nggak yang ngasih beginian?" tanyanya sambil mengangkat gulungan itu supaya Lintang dapat melihatnya.
"Lu tau nggak gue bahkan baru dateng dan duduk disini." Lintang menatap Matheus dengan tatapan mengintimidasi.
"Ya elah, nanya doang. Kejem amat lu."
"Bercanda doang."
"Tapi itu nggak keliatan bercanda."
"Semerdeka lu aja dah, Mat, Mat."
Mereka kemudian larut dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, guru masuk dan membuyarkan pikiran mereka masing-masing. Ini jam terakhir sebelum mereka pulang. Berhubung tidak ada yang kena remedial di pelajaran itu--dan itu merupakan rekor--mereka hanya bersendau-gurau dengan sang guru sampai jam pelajarannya habis. Mereka akhirnya diperbolehkan pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gulungan Rasa
Short StoryBeberapa hari terakhir, Matheus mendapat gulungan. Beberapa gulungan kertas lipat dengan berbagai motif dan stiker yang berbeda. Masalahnya bukan ada di gulungan itu. Tapi, tulisan tangan di dalamnya.