04 = Sebuah Pengkhianatan

761 140 22
                                    

Kita tak bisa punya anak, Elea. Aku tak ingin memiliki anak darimu.

Elea bahkan tak bisa menjelaskan bagaimana rasa sakit yang dirasakannya saat mendengar kalimat yang diucapkan tanpa perasaan itu. Yang bisa Elea lakukan hanya tetap diam dan mendengarkan baik-baik apa yang menjadi keinginan terpendam Earl—yang akhirnya berhenti setelah mengutarakan keinginan untuk bercerai.

Malam itu, ketika Elea juga ingin mengatakan keputusannya—panggilan panik ibu mertuanya dari luar kamar seketika menghentikan percakapan menyakitkan itu. Elea sangat terkejut kala mendengar jika ayah mertuanya tiba-tiba tak sadarkan diri setelah terjatuh di kamar mandi. Elea mengikuti Earl yang segera berlari panik segera membawa sang ayah ke rumah sakit.

Karena itulah Elea harus menunda pembicaraannya dengan Earl soal perceraian mereka. Elea tidak ingin membuat ibu mertuanya semakin banyak pikiran—di saat ayah mertuanya saja baru bangun setelah hampir dua hari tidak sadarkan diri.

Selama mereka bolak-balik ke rumah sakit, Earl sama sekali tidak menyapanya jika mereka hanya berdua saja. Earl terlihat seperti sedang terlihat marah padanya—di mana ia sama sekali tidak menyadari alasan apa yang membuat pria itu marah. Mungkinkah karena keinginan bercerai belum bisa diproses secepat mungkin karena harus memikirkan kondisi ayah mertuanya? Entahlah. Padahal, bukan salah Elea jika tiba-tiba mereka secara tidak sadar berhenti membicarakan perpisahan itu.

"Nak, pulang dulu saja, ya. Biar nanti Earl yang menemani ibu di sini. Keadaan ayah juga sudah semakin membaik, jadi kau tidak perlu terlalu khawatir."

Elea menatap ibu mertuanya dengan sedikit keberatan.

"Tidak apa-apa, Sayang. Kau juga harus beristirahat dengan nyaman."

Setelah sedikit perdebatan yang akhirnya membuat Elea tak bisa menolak lagi, ia pun pulang setelah Earl sampai di rumah sakit. Tidak ada percakapan berarti di antara keduanya saat Earl mengantar Elea pulang—karena diminta sang ibu. Sepanjang perjalanan, Earl hanya diam—membuat Elea juga tak berniat memulai percakapan. Elea hanya tak ingin semakin memperkeruh suasana dan membuat raut wajah Earl lebih tidak bersahabat lagi.

"Terima kasih karena sudah mengantarkanku, Earl."

"Elea."

Gerakan Elea yang baru akan membuka pintu mobil seketika terhenti dan perlahan menoleh menatap Earl yang juga tengah melihat ke arahnya.

"Aku sangat mencintai kekasihku. Itu sebabnya aku ingin kita segera berpisah. Aku tahu mungkin cukup sulit dan terdengar tidak adil bagimu, tapi aku tidak bisa lagi bertahan dalam situasi seperti ini. Kekasihku... dia... sedang hamil, dan aku harus segera menikahinya."

Elea tentu saja sangat terkejut. Tubuhnya terasa kaku sampai ke sendi-sendi. Hatinya kembali seperti dirajam ribuan paku—dan itu sungguh, amat menyakitkan. "Aku... mengerti..." Elea berusaha untuk menormalkan suaranya, tapi pasti tetap saja gagal. Tenggorokannya seperti tersangkut sesuatu sampai membuatnya kesulitan sekali berbicara normal. "Aku juga—"

Sayangnya, kalimat Elea terputus saat ponsel Earl berdering panjang. Elea bisa melihat raut wajah Earl seketika berubah saat panggilan itu sudah tersambung.

"Aku segera ke sana. Minta ibumu menemani. Tolong baik-baik saja. Aku mencintaimu, Sayang."

Seketika itu juga, Elea tahu siapa yang menelepon Earl.

"Turunlah. Kita bicara lagi nanti. Aku harus pergi sekarang."

Tidak perlu menunggu lama untuk diusir, Elea segera bergerak keluar dari mobil—memandangi kepergian Earl menuju sang kekasih hati. Elea mengangkat sebelah tangannya mengusap wajah saat baru menyadari air matanya menetes. Yang semakin lama semakin deras dan berakhir membuatnya menyerah kalah. Elea terduduk, berjongkok di depan rumah dengan kepala menunduk di atas lutut. Tidak ada isakan di sana, hanya luapan tangis yang tidak bisa berhenti sekalipun ia berusaha keras.

Easy on MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang