⠼⠃⠛ Raku

92 20 6
                                    

“Psikopat itulah pembunuh Akio.”

Kau tidak percaya Marge adalah pembunuh. Tidak secepat itu. Saat sepupumu berkata bahwa Marge membunuh pemuda yang menjadi cinta pertamanya, kau yakin sepupumu cuma meracau. Lagi pula, apa keuntungan yang didapat Marge dari menghilangkan nyawa peserta didiknya, bukan? Bisa-bisa, justru sekolah yang tercoreng nama baiknya.

Oh, Paris, kau sungguh…

Kau segera menugaskan laskar jalananmu untuk mengulik informasi yang berkaitan dengan Akio Suryadi-Abe. Mereka menuntut biaya besar, dan kau tak punya pilihan selain meminta pekerjaan tambahan dari sepupumu.

Minggu pagi itu kau membawa sebuah kendi dari toko keramik sepupumu yang siap untuk pembakaran glasir. Sepupumu ingin bereksperimen dengan teknik raku, tetapi kompleks pertokoan tempat tinggalnya melarang kegiatan menyalakan api di ruang terbuka, jadi kau yang mengambil alih proyek itu.

Kau bertanya kepadanya berapa taksiran harga kendi ini setelah jadi, tetapi sepupumu berkata kau bisa menjualnya lewat Pak Teguh alih-alih lewat tokonya yang sederhana ini.

“Dengar ya, Paris,” kata sepupumu sambil bertopang dagu di konter toko keramiknya. Dia tak bersemangat seperti biasanya. “Kamu tahu kan, Pak Teguh pernah janji mau menjembatani dialog antara aku sama orangtuaku?”

Kau manggut-manggut saja sambil menghirup teh hitam panas buatan sepupumu. Dia tidak pernah mau membuatkanmu kopi. “My domain, my rule,” katanya.

“Terus beberapa hari belakangan ini Mama jadi rajin jenguk aku di sini.”

Kekelatan rasa teh itu tersangkut di kerongkonganmu. Setelah bertahun-tahun tidak pernah berjumpa dengan putrinya, bibimu tiba-tiba muncul di toko ini. Bukankah rasanya ganjil?

“Dia juga nemuin ini.” Nice meletakkan sebuah pigura hitam matte berukuran 3R di konter. Pigura itu membingkai foto kalian berdua saat memamerkan mok karya masing-masing di toko ini.

Sepupumu melanjutkan dengan muram, “Mama sudah dengar dari ibumu kalau kamu nggak jadi pulang ke Boston, nginep di Singapura. Jadi dia cemas. Begitu ketemu Pak Teguh, dia nanyain di mana sebenarnya Paris sekarang, dan didapatlah toko ini. Mama menginterogasi aku seolah-olah aku sudah menculik kamu. Aku bilang Paris tinggal di sini karena kemauan sendiri dan dia bantu-bantu usahaku juga karena minatnya sendiri. Tahu apa yang dia bilang berikutnya?”

Senyuman sendu sepupumu membuat benakmu teremas-remas. Kau merasakan betapa patah hatinya gadis ini akibat perlakuan orangtuanya.

“Katanya, ‘Paris jangan didorong menekuni ini juga.’ Tangannya nunjuk-nunjuk seisi toko ini. Aku bilang, ‘tapi dia berbakat, Ma. Ada yang suka sama karyanya sampai beli dua.’ Lalu Mama minta kasih tahu mana aja di toko ini yang hasil karya kamu. Sekarang semuanya ada di kardus itu.”

Dengan jarinya yang terlihat polos pagi itu, sepupumu menunjuk kardus besar di belakang konter. Kau menahan dorongan untuk tidak meledak begitu saja di depan saudarimu.

Sepupumu melanjutkan, “‘Paris jangan disemangati untuk ini,’ kata Mama. ‘Sekolahnya rusak karena dia lebih suka menggambar dan main tanah daripada belajar. Tidak boleh ada lagi anak dari keluarga kita, baik dari keluarga Saman maupun Bayraktar, yang putus sekolah.’ Maksudnya jangan ada lagi bibit cacat seperti aku.”

Jadi itu yang dipikirkan bibimu selama ini? Bahwa kegagalanmu di SMA Adigana karena kau kurang rajin belajar dan bukan karena persaingan tidak sehat dengan teman-temanmu?

“Aku tahu apa yang mau kamu bilang.” Sepupumu menyeruput tehnya sendiri. “Ya, aku juga kepikiran hal yang sama. Tapi aku sudah pernah mengatakannya bertahun-tahun lalu. Akibatnya aku diusir. Sekarang aku cuma mau main aman sama orangtuaku, Paris. Jadi jangan hakimi aku.”

Teh yang seharusnya membuatmu tenang tidak memberi efek apa-apa kepadamu pagi itu. Kau malah bertambah gusar.

This is a joke.” Kau bangkit dari kursi tinggi di depan konter. “Dia nggak bisa mengontrol segalanya.”

Prove it,” kata sepupumu. “Prove her wrong. Prove him wrong.”

Kau tahu siapa ‘him’ yang dimaksud sepupumu. Ayahnya yang bertangan besi.

Dalam perjalanan membawa kendi yang hendak kaubakar ke indekosmu itu, berbagai skema pembalasan dendam muncul di pikiranmu. Kau ingin hal-hal buruk menimpa teman-temanmu di SMA Adigana. Kau ingin mereka gagal dalam turnamen bisbol kota. Kau bahkan berharap rumah sakit milik pamanmu bangkrut saja.

Namun, saat tiba di indekos, yang kautemui adalah Bing, si lelucon berjalan. Bagaimana kau bisa mengalahkan SMA Adigana lewat tim bisbol Baswara dan mendapat pengakuan yang kaubutuhkan jika pitcher utamanya saja badut seperti Bing ini?




Dari Pengarang:

Kepribadian eksentrik Nice nggak punya cukup screen time di Enigma Pasha dan Paradoks Bingar (meskipun di PB sudah terkuak jiwa kepahlawanannya 🐊). Jadi di SM, waktunya kita menyelami jungkir balik kehidupannya juga 💙






Saujana MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang