Hari Kesepuluh di Pulau - 4

86 17 15
                                    

Magrib itu aku ke masjid dengan bantuan Horijon. Sepulang salat, dia menawarkan makan malam, tapi aku menolak.

"Beneran, sudah kenyang. Tadi ada teman dari daratan yang masakin aku."

Horijon mematung, sebagaimana sikapnya yang biasa jika sedang berpikir. "Temen... masakin Pasha?"

"Nggak percaya? Tuh, kuali sama pisaunya masih berantakan di dapur," kataku ketus. Untung saja dia tidak bisa melihat wajahku yang mungkin memerah karena malu, jadi dia tidak memperpanjang urusan.

Selagi Horijon membereskan rumah, aku pamit masuk kamar. Aku ingin menelepon ibuku. Semoga sinyalnya bagus.

Aku duduk di kursi belajar dan menyalakan laptop. Aku mengirim chat terlebih dahulu untuk menanyakan ketersediaan ibuku. Aku lupa Mama sudah berada satu negara denganku dan tidak lagi terpisah selisih waktu 12 jam. Aku mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah selagi menunggu jawabannya, tapi akhirnya muncul juga.

I'll be here for you.

Dia juga bertanya di mana aku melakukan panggilan videonya, apakah dia perlu memakai hijab atau tidak. Kubilang aku sedang sendirian di kamar, jadi tidak apa-apa jika Mama tidak berhijab. Dia pun memulai panggilan video lewat Skype.

Dia langsung tersenyum ketika kami terhubung. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah-olah aku tidak pernah mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya.

Mama bertanya apakah aku sudah makan. Yah, aku ingin sekali bercerita bahwa hari ini Selene sampai repot-repot datang dari daratan demi memasak untukku, tapi kurasa itu lebih asyik dibahas saat segalanya sudah baik-baik saja.

Aku hanya menjawab singkat dan bertanya balik apa yang Mama makan untuk malam ini. Apakah dia kesulitan mencari makanan yang cocok di Jakarta?

Mama kemudian bercerita tentang warung martabak Mesir dekat rumah yang sudah jadi langganan keluargaku sejak dulu. Mama memesan itu untuk makan malamnya hari ini, dan menurutnya rasa dan porsi martabaknya masih sama seperti waktu Papa masih ada.

Seperti waktu Papa masih ada. Aku menandai perubahan pemilihan kata-katanya. Sebelum ini, setiap kali bicara tentang masa lalu, Mama selalu menggunakan frasa sebelum pindah ke Boston. Seolah-olah kejadian itulah turning point dalam kehidupan kami, bukan kehilangan besar yang mendahuluinya.

"Tapi kamu masih kecil sih, kayaknya belum ingat waktu diajak Papa beli martabak di sana," tambah Mama.

Aku tersenyum. Benakku masih sakit setiap kali mengenang Papa, tapi rasa sakitnya tidak sebanding dengan kelegaanku karena Mama tidak lagi menghindarinya. Aku merasa terjatuh, tetapi Mama jadi jaring pengamannya.

Lalu aku jadi penasaran akan sesuatu. Di mana Mama tinggal sekarang? Apartemen? Berapa jauhnya tempat tinggal baru Mama dari warung martabak langganan kami itu? Apakah dia melakukan pesan-antar?

"Jalan kaki," jawab Mama sambil mengangkat bahu. "Kan, dekat sama rumah kita."

Hah....

Jadi maksudnya....

Tapi kan....

Senyum Mama merekah lagi. Kali ini lebih lebar dan cerah.

"Oh, Mama belum cerita ya? Dulu rumah kita memang dikosongkan supaya bisa dihuni orang lain, tapi setelah Mama pikir-pikir, sayang sekali kalau dijual. Jadi hanya Mama sewakan. Setelah penyewa terakhir habis masa kontraknya, Mama bilang ke beliau kalau selanjutnya Mama sendiri yang ingin menempati rumah itu. Renovasinya belum selesai seratus persen, sih, but what do you think?"

Mama bergeser dari tempat duduknya untuk memamerkan tempat yang sejak tadi jadi latar belakangnya. Ruangan yang dulu kukenali sebagai ruang bermainku. Alias ruang belajar Mama. Aku ingat pernah memanjat salah satu rak buku Mama di ruangan itu selagi Mama menyelesaikan tugas kuliahnya. Untung saja aku tidak terjatuh dari rak itu dan masih hidup sampai sekarang. Raknya masih ada, tapi susunan bukunya tidak sepadat dulu.

Saujana MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang