Hari Kedelapan di Pulau - 1

91 15 19
                                    

Saat rombongan dokter dan polisi itu hendak meninggalkan pondok, sebenarnya aku juga diajak, demi kesehatanku sendiri. Tapi aku menolak. Aku punya perhitungan lain setelah merenung sepanjang malam. Sebagai gantinya, aku menitipkan sebuah surat. Penerimanya adalah Dr. Margaret Wibisono, kepala sekolahku tercinta.

“Mungkin akan berbeda jika yang menyampaikannya Pak Polisi,” kataku semanis mungkin.

Pria berkemeja rapi itu menaikkan sebelah alis saat menatapku. “Memangnya apa isi surat ini?”

“Bukan apa-apa.” Aku tersenyum lebar. “Cuma pernyataan berdamai.”

“Tapi kepala sekolah SMA Adigana tidak ada hubungannya dengan kecelakaanmu.”

“Memang tidak. Itu soal lain.”

Si polisi menimbang-nimbang. Atau lebih tepatnya, mencurigai motifku sebenarnya. “Kamu bisa jamin isi surat ini tidak ada yang berlawanan dengan hukum?”

“Tentu saja tidak, karena cuma ada kebenaran di sana. Kalau Pak Polisi tidak percaya, boleh sobek lagi amplopnya dan periksa sendiri.”

“Karena kamu sudah memutuskan untuk memaafkan pelaku, saya anggap surat ini sebagai usaha rekonsiliasimu.” Sang polisi menyelipkan surat itu di buku agendanya dan memasukkannya ke tas selempang yang dibawanya. “Semoga cepat sembuh, ya.”

Aku melambai dengan penuh kepuasan dan kelegaan. Aku sudah mengeluarkan segala yang beracun di dalam pikiranku ke surat itu. Masalahku sekarang tinggal cara meminta maaf kepada Mama. Dengan pikiran yang lebih ringan, aku merasa lebih leluasa mengenang dan meninjau kembali hubungan kami sebagai ibu dan anak selama ini.

Oh, itu Horijon.

Dia baru keluar dari pondok. Tampaknya pekerjaannya sudah selesai.

“Jon!” seruku.

Seperti biasa, anak itu mencoba menoleh ke sumber suara, tapi tidak pernah tepat.

“Ayo belajar melukis!”

“Sobat, aku ini buta,” katanya agak jengkel. Baru kali ini aku mendengarnya bicara seperti itu. “Mana mungkin aku bisa melukis.”

“Sejak kapan kau jadi pesimis begitu? Ayo, melukis kan tidak harus dengan cat!”

Untuk meyakinkannya, aku menggenggamkannya sekantong biji kopi dan menggerakkan tangannya untuk mengocok kantong itu hingga biji-biji di dalamnya bergericing.

“Kau pernah membuat kolase dari biji-bijian?” tanyaku.

“Em… pernah, untuk tugas kesenian Lembayung. Pakai kacang hijau.”

“Benar. Sekarang, tidak hanya ada kacang hijau di sini. Ada juga kacang merah, kacang kedelai, lentil, bahkan biji labu!”

Aku masuk ke pondok dan membuka paket kedua titipan dari darat. Ada banyak kantong biji-bijian di sana, dan Tante Mai sempat curiga aku hendak berubah menjadi burung atau tupai. Oleh karena itu, selain mengirimiku biji-bijian, dia juga mengirimiku daging sapi dan filet ikan di dalam cooler box. Bikin susah pengantarnya saja.

Aku menjejerkan kantong-kantong biji itu di meja ruang duduk dan membukanya satu per satu. Bukan pekerjaan gampang karena aku cuma punya satu tangan yang berguna saat ini.

Setelah semua kantong biji terbuka, aku menyuruh Horijon duduk dan merasakan sendiri tekstur setiap jenis biji, sementara aku mencemil biji kopi.

“Biji-biji ini memiliki bentuk yang berbeda-beda, bukan?” tanyaku. Horijon menyetujui.

“Sebenarnya warnanya juga berbeda-beda. Jadi kau bisa memvisualisasikan persepsimu tentang dunia lewat kolase biji-bijian ini,” kataku penuh semangat, lalu setelah menyadari reaksi Horijon yang aneh, aku menyesuaikan nada bicaraku lagi. “Yah, harapannya.”

Saujana MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang