1,5 kilometer sudah mereka berjalan memasuki hutan. Pohon-pohon rimbun dengan jenis yang jarang sekali mereka lihat kini berdiri kokoh melindungi mereka dari panasnya sinar matahari.
Tumbuh-tumbuhan unik seringkali mereka jumpai seiring mereka memasuki Silvan Wood lebih dalam lagi. Sejauh ini tak ada yang menghalangi jalan mereka. Hutan tampak hening dengan langkah kaki mereka yang berirama.
Sean dengan keingintahuannya yang tinggi berjalan di depan memimpin kelompok. Matanya sibuk mengeksplor apa saja yang menurutnya menarik dalam hutan ini.
Dua gadis di belakang Sean mengobrol dengan dekat. Luna tampak tertarik dengan keunikan hutan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sedang Jane hanya merespon obrolan Luna dengan senyum.
Grey di belakang masih mengawasi mereka berdua. Takut takut ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Lalu matanya menangkap Jane yang menjauh dari kelompok untuk mendekati sebuah pohon besar.
Jane berjongkok, memetik sebuah bunga indah yang tumbuh. Tubuhnya berbalik, wajahnya antusias meski terlihat kalem. "Luna, kemarilah."
Alis Grey bertaut, ia memperhatikan Luna yang menghampiri Jane dengan girang. "Indah sekali," puji Luna pada bunga yang dipegang Jane.
Satu sudut bibir Jane tertarik. "Bunga indah ini untukmu, Luna." ucapnya. "Sungguh?!" girang Luna.
Jane mengangguk. Sepersekian detik ia mengubah bunga yang dipegangnya menjadi sebilah pisau tajam. Lalu dengan cepat ia menusukkan pisau itu pada perut Luna.
Luna yang terkejut tak sempat menghindar dari serangan mendadak Jane. Perutnya merasakan sakit yang menusuk dari mata pisau. Jane menarik pisau dari perut Luna dengan kasar, membuat darah terciprat ke tanah.
Pisau berhias darah itu kini dipandangi Jane dengan bahagia. Jane tertawa puas, matanya terbuka lebar bahagia. "Aku mendapatkan darah mu, Luna! Aku mendapatkan darahmu!"
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Luna. Gadis bersurai legam itu terjatuh ke tanah, tak kuat lagi menahan sakitnya luka yang bersarang. "J-Jane ..." rintihnya.
"Luna!" teriak Grey panik. Kakinya cepat menghampiri Luna yang tumbang. "Tidak, tidak." panik Grey melihat darah yang semakin banyak keluar dari tubuh Luna.
Grey segera merobek kain dari bajunya, lalu meletakkan kain itu di perut Luna agar tak semakin banyak darah yang keluar.
"Sialan! Apa yang kau lakukan?!" Mata Grey menatap tajam Jane, seolah dirinya terbakar oleh amarah yang memenuhi ubun-ubunnya. Sementara Jane memberikan seringaiannya pada Grey.
Sean yang mendengar kericuhan dari arah belakang berbalik badan. Matanya membelalak ketika melihat semuanya. "A-Apa yang terjadi?!" pekiknya segera menghampiri Grey dan Luna.
"Astaga Luna!" paniknya begitu mendapati Luna dengan napas yang sudah tak beraturan. Sean melirik Jane dengan pisau berhiaskan darah di tangan gadis itu. Rahang Sean mengeras, gertakan giginya terdengar.
"Oh, drama yang mengharukan." tutur Jane dengan wajah yang dibuat sedih, namun satu detik kemudian seringaiannya tercetak jelas.
"Tolong kau urus Luna dahulu, sementara aku akan mengurus makhluk sialan ini." perintah Grey pada Sean seraya bangkit untuk menghadapi Jane.
"Makhluk?" heran Sean. Grey meliriknya dan Jane tersenyum miring. "Jadi kau sudah menyadarinya?" pertanyan Jane ditujukan pada Grey. Dan pada detik itu Sean menyadari bahwa Jane yang mereka hadapi bukanlah Jane yang asli.
Grey meraih belati kembar yang selalu tersimpan di pinggangnya. Pandangan mata abunya selalu tajam, lelaki itu merentangkan belati kembarnya seolah siap dengan pertarungan melawan makhluk dihadapannya.
"Kau akan musnah di tangan ku."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sylvan Cipher
Short StoryLuna, Jane, Grey, dan Sean yang ingin mengasingkan diri sementara waktu dari pusat kota berniat mencari pelarian di villa tua Aldmoor bagian utara. Siapa sangka di villa tua itu mereka menemukan sebuah peta kuno serta naskah misterius. Dipenuhi ol...