Sean mendongak menatap langit. Ternyata mulai gelap, tandanya hari memasuki waktu malam.
Mereka berada persis di depan gua. Belum memasukinya. Sean dan Grey mencoba menerawang ke dalam gua yang sangat gelap.
Terdengar suara kelelawar yang sepertinya mulai aktif mengingat waktu sudah memasuki malam hari.
Grey memiliki firasat tidak enak. Ia melirik Sean, melakukan percakapan lewat mata.
Sean berdehem, "Gunakan senter kalian. Di dalam cukup gelap, kita harus tetap waspada dan jangan sampai berpencar." Jane dan Luna mengangguk, mengeluarkan senter yang sudah mereka siapkan sebelumnya.
Mereka melangkah dengan hati-hati ke dalam gua. Hal pertama yang dirasakan Grey adalah udara yang begitu lembab, juga suara-suara aneh yang masuk ke indra pendengarannya.
Grey akui, suasana gua terasa lebih seram dan mencekam lima kali lipat setelah mereka memasukinya. Batu-batu tumpul menumpuk, membuat gua terlihat sangat gelap bila saja mereka tidak menggunakan senter.
Yah, masing-masing dari mereka sudah memegang senter dengan cahaya yang menyorot saja masih tak bisa menutupi kesan horor yang menguar alami dari gua itu.
Lima belas menit menyusuri gua lebih dalam, Grey merasa gua yang kini tengah ditelusuri menjadi lebih gelap. Kabut-kabut semakin tebal menyelimuti, menghalangi pandangan mereka akan jalan di depan.
Empat senter yang mereka gunakan tak mampu lagi menerangi jalan ke depan, kabut semakin tebal dan hari semakin malam.
"Astaga, bagaimana ini? Senter kita tak mampu lagi menembus kabut-kabut ini." Langkah Jane terhenti, membuat ketiga lainnya otomatis berhenti.
Grey mengamati sekeliling, memikirkan keputusan yang tepat untuk diambil. Dilihatnya pemandangan semakin kabur, apa ia harus berhenti sebentar seraya menunggu kabut-kabut ini menipis?
"Aku akan melakukan sesuatu." ucap Luna tiba-tiba. Grey, Sean, dan Jane menoleh bersamaan.
Luna memejamkan mata sejenak, berkonsentrasi. Tak lama kemudian tubuh Luna bersinar selayaknya cahaya bulan benderang. Cahayanya mampu menerangi mereka untuk terus berjalan menyusuri gua.
Ekspresi terkejut Sean tak bisa dipungkiri lagi. "Mengapa aku bisa melupakan bahwa kau memiliki anugerah seperti ini, ya?"
Jane memukul lengan Sean pelan. "Memang kaunya saja yang pelupa."
Grey menyungging senyum. "Terima kasih, Luna. Kau amat membantu." Luna membalasnya kembali dengan senyuman.
Mereka melanjutkan perjalanan ke daerah gua yang lebih dalam lagi.
•••
Keempat pemuda yang sedang menjelajahi gua itu menghentikan langkahnya. Delapan mata yang kini menatap lurus pemandangan di depan seketika dibuat bingung oleh dua lorong berbeda.
Lorong di sebelah kanan tertutupi oleh runtuhan bebatuan tumpul yang mustahil untuk dilewati. Sedang lorong di sebelah kiri terdapat sarang laba-laba berukuran besar menutupi jalan masuk menuju lorong tersebut.
"Jadi bagaimana kita melewatinya?" Helaan napas Jane terdengar.
"Tak perlu repot-repot memikirkan caranya. Kita hanya perlu menyingkirkan sarang laba-laba ini dan semua akan kembali seperti yang seharusnya." Sean mendekat pada lorong di sebelah kiri, tangannya menarik pedang yang selalu ia bawa.
"Tidak tidak! Sean, jangan!" Grey memekik.
Sayangnya sarang laba-laba itu telah hancur oleh Sean. Grey menahan napas, Sean berbalik. "Ada apa? Semua baik-baik saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sylvan Cipher
Short StoryLuna, Jane, Grey, dan Sean yang ingin mengasingkan diri sementara waktu dari pusat kota berniat mencari pelarian di villa tua Aldmoor bagian utara. Siapa sangka di villa tua itu mereka menemukan sebuah peta kuno serta naskah misterius. Dipenuhi ol...