.

37 6 0
                                    

Votenya kakaa..

Senja terdampar diufuk barat. Sayup-sayup lantunan Qari' menembus pendengaranku. suara emas yang dititipkan Allah kepada ustad Muammar Z. A. itu menggema pada masjid, persis didaerah kediamanku. Setiap hari sebelum Maghrib pasti akan mendengarnya, sampai-sampai hapal dengan surah maupun nadanya.

Sejak lima belas menit yang lalu, seluruh santri tahfidz dikerahkan pengurus untuk kebawah, lantai dua. Bakda asar adalah jadwal ziyadah yang telah ditentukan pesantren, sedang santri bukan tahfidz juga diharuskan menghafal kitab untuk sorogan nanti malam.

Aku yang belum resmi jadi anggota salah satu dari kedua kubu (baca; tahfidz dan bukan tahfidz) cukup menetap disini, bercengkrama dengan jendela kamar.

Tiba-tiba rindu beliau..

"Assubhu bada, minthol'atihi wallailu daja minwafrotihi
Allah.. Allah Allah.."

Dari jauh sana, suara sound system mengalun, mengecil, kemudian meninggi lagi suaranya terbawa angin sehingga sempat beradu dengan bacaan Qari' yang sebentar lagi mungkin usai.

"Jadi kangen majlisan,"

Tepat saat Qari berhenti, mbak Nisa sampai lantai tiga yang hanya berpenghuni aku saja pada sore ini.

Suara Hadroh yang disetel tadi belum mereda.

"Mbak Nis, ini suaranya dimana ya?" Tanyaku, memutar badan yang tadinya menghadap jendela.

"Acara haul Mbah Fattah kan, nanti malam," ia mengambil bantal merebahkan tubuh dengan Al-Qur'an kecil diatas dadanya.

Aku termenung, mengahadap jendela lagi, fikiranku menjurus pada sesuatu..

Andaikan bunyai Afifah kesini, sowan kepondok lama lah, misal. Sekalian ke haul Mbah Fattah, huft pasti si Gus ikut kesini...

Mobil Avanza putih terlihat berbelok ke ndalem belakang, tentu bisa kulihat dari jendela lantai tiga ini.

Kayak kenal mobilnya.

Wanita paruh baya yang pertama kali keluar dari mobil, abaya hitam kerudung syar'i membalut tubuhnya sekilas membuatku menduga ia bukan orang biasa, aku tak sempat melihat wajahnya, sebab ia terlihat berbicara pada seseorang yang berada dijok belakang, sesaat ia berbalik..

Loh umiik!

Pintu kedua terbuka, hatiku mencelos senang, histeris dalam dada, Bunyai Afifah terlihat sangat berkharisma dan Gus Aqil, beliau tidak berubah.

Aku mematung sangat lama, tak percaya dengan semua ini.

"Mbak Ainun! Disambang!"

Seru seseorang dari lantai dua, aku tahu yang dimaksud itu bunyai Afifah.

Aku memasuki ruangan dilantai dua, ruang yang kuduga tempat untuk beristirahat para tamu dan orang tua santri, sebab kemarin rombongan yang mengantarku juga beristirahat ditempat ini.

Bunyai Afifah, auranya menelisik mataku kala kudapati beliau sedang melihat-lihat keluar jendela.

"Assalamualaikum ibuk," ucapku pelan, terus berjalan sambil menunduk.

127 Days In Pesantren By Fatimah [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang