.

41 6 0
                                    

Vote dong!

Suara jendela yang bergetar mengusik mimpiku, aku mengerjap lalu memfokuskan penglihatan pada jarum jam yang tampak buram oleh mataku yang baru saja terbangun.

"Astaghfirullah, jam lima!" Aku memekik pelan. Melihat sekelilingku, mereka masih terlelap, begitu pula mbak Ayna yang berada di sisiku memeluk sebuah boneka beruang berwarna coklat.

"Ya Allah apakah aku sudah tertinggal jama'ah sholat subuh?"

Aku bergegas mengambil mukena serta baju ganti, baru tersadar pakaian dan hijab dari kemarin belum kuganti.

Aku melangkah melewati musholla, mendapati satu santriwati, pengurus yang tadi malam. Ia sedang membaca Al-Qur'an.

"Mau mbak Tamia antar dek?" tanyanya.

Catat, namanya mbak Tamia. (Bukan mobil-mobilan lho ya!)

"Em, tidak mbak terimakasih,"

Aku masih mematung, ragu untuk mengatakan sesuatu.

"Maaf ya mbak, aku telat jama'ah," tukasku.

"Ini belum mulai sholatnya dek, bahkan kamu bangun awal malahan, keren!"

Hah!? Jam lima ferguso!

"Yasudah, aku ke kamar mandi dulu ya," pamitku yang dibalas anggukan olehnya.

Butuh waktu kisaran sepuluh menit untuk menuntaskan hajatku di kulah.
Kini aku sudah berpakaian tunik dan sebuah sarung yang tak karuan bentuknya, bagian atas yang kulipat asal dan kupegang berkali-kali untuk berjaga agar tidak melorot. Aku belum bisa memakai sarung!

Hamparan sajadah merah yang baru dibeli oleh ibuku beberapa hari yang lalu ini yang menemaniku dimusholla sejak beberapa menit yang ini, aku menggerutu dalam hati, sama sekali tidak menyangka sholat subuh dipondok akan sesiang ini.

Jika ibuku tahu aku baru sholat subuh jam segini, pasti beliau bakal mengomel habis habisan!

"Mbak, ini subuhannya jam berapa ya?" kucoba bertanya pada mbak Tamia, daripada terus membatin.

"Gatau dek, anak sekamarmu aja belum ada yang bangun, bangunin gih!" suruhnya.

Aku menggeleng malu, rasanya belum memiliki keberanian untuk sekadar membangunkan, apalagi kami baru bertukar nama kemarin.

Kulihat sekeliling, mereka yang ber-gotaan sini sudah mulai beranjak, ada juga yang sudah menggelar sajadahnya, dibelakangku. Ternyat sesulit itu menempati shaf depan.

Mbak Tamia pun beranjak menuju kamarku, untuk membangunkan mereka yang ada disana.

Mengapa tidak dari tadi!

Sholat subuh telah terlaksana, lebih cepat dari isya, karena dua rakaat dan bacaan super cepat, sekarang aku tahu Suara imam yang sama, mbak Tamia.

Selepas subuh, hampir seluruh jiwa terkapar dikamar, kecuali beberapa santri senior yang nyaman bercengkrama mojok dengan kekasihnya, Al-Qur'an.

Aku masih enggan beranjak dari sajadahku, bukan berdoa, hanya diam  merenungkan rasa syukur kepada Gusti Allah yang mengizinkanku mengais ilmu di pesantren.

"Dek, kok melamun," tanya seorang perempuan di sampingku, aku baru melihatnya kali pertama ini, sepertinya semalam ia tidak ada saat berjamaah isya.

"Eh ngga kok mbak."

"Apanya, orang aku udah panggil kamu beberapa kali ngga ngeh lho," terangnya.

"Namanya siapa?" tanyanya sambil melipat mukena.

127 Days In Pesantren By Fatimah [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang