Malam Senin, seusai santri Tahfiz setoran kepada Mbak Nur aku menghadap beliau, dan mbak Ayna menunggu diluar.
Aku jadi ikut memanggil demikian padahal dulunya selalu memanggil putri-putri kyai dengan sebutan "Ning" sepertinya kebiasaanku yang itu akan hilang.
Kesan pertama yang kudapat saat melihat calon guruku ini adalah.
Menggaruk tengkuk dengan telunjuk sambil merutuk.Ini akibat sering menerka sebelum waktu memberikan jawabannya.
Seorang wanita yang kuduga pembantu saat kulihat didapur waktu itu–
Beliau Mbak Nur! Putri kiyai.. emm belum kuketahui namanya.
Ya Allah maafin Ainun
Aku agak ragu untuk masuk, lalu menoleh kebelakang.
Mbak Ayna tampak memberi isyarat untuk meyakinkanku.
"Kepareng matur, dalem minangka santri Enggal, ajeng nyuwun izin menawi dalem badhe nderek mlebet Tahfiz."
(Izinkan saya berbicara, saya yang merupakan santri baru, mau meminta izin bahwa saya akan ikut masuk Tahfiz)
"Hm iya," singkat beliau, namun sambil tersenyum.
"Disuruh orang tua apa keinginan sendiri?" tanya beliau.
"Dua-duanya," jawabku sambil terus menunduk.
"Ohh kamu yang tetangganya mbak Hana ya?"
Aku mengangguk pelan.
"Dengar-dengar dulu sudah pernah mondok ya?"
"Nggih."
"Mondok dimana?"
"Dekat rumah hehe," sedikit bumbu senyum agar tidak terlalu tegang.
"Ibu nyainya asal mana?"
"Asal sana juga, tapi beliau pernah mondok di Mbah Fattah–"
"Mbah Fattah ini!?" beliau menunjuk ke arah serong kanan.
"Nggih, setelah lulus beliau ke Kudus." jelasku, walau tidak ditanya.
"Berarti sekolah di Salafiyah dong?"
"Nggih."
Aku melirik sekilas, dari raut wajah beliau terbaca, seperti kagum.
"MaasyaAllah keren, wihh keren banget asli," bukan, ini mah aku. Beliau kiranya tak seheboh itu.
"Sekarang malam Senin—
kamu sih nggak kemarin aja malam ahad izinnya biar langsung bisa ngaji, kalau sekarang ya kamu ngajinya malam Rabu nanti.""Ayna, ditemani lho ya mbak Ainun ini," ujar beliau pada mbak Ayna sebelum kami diutus kembali ke atas.
Fyi, lantai satu ndalem
Lantai dua tempat Madin, satu gudang, ruangan untuk wali santri yang menjenguk, kantor pengurus, serta kamar mandi.
Sedangkan lantai tiga hanya tempat sholat dan tempat tidur santri.Seusai itu, mbak Ayna pamit untuk pergi lagi—aku berbelok pada ruang jenguk santri, malas rasanya kembali ke kamar.
Baru saja aku mendudukkan bokong, mbak Indah menyapa dari luar, lalu ikut bergabung dengan kesendirianku.
"Ciee yang besok udah ngaji," selorohnya.
"Belum mbak, kata mbak Nur malam Rabu, kenapa gitu mbak?"
"Oiya, ini malam Senin ya, harusnya kemarin sih biar langsung ngaji juga."
"Nah, mbak Nur juga berkata demikian."
Mbak Indah tertawa.
"Ish kamu dek, jangan formal gitu lah," ucapnya sambil menebas bahuku sekilas.
KAMU SEDANG MEMBACA
127 Days In Pesantren By Fatimah [On Going]
أدب المراهقينJangan dibaca, nanti nyesel!