"Sikap dan caramu mengajak bicara membuat saya berpikir; oh, dia sungguh seorang wanita, bukan lagi anak kecil. Dan itu… membuat saya merasa tidak bersalah, karena tertarik dengan kamu."
kata Sagara, dengan kebahagiaan yang nyata di raut wajahnya.
***
Pria itu dengan setelan kaus v-neck putih, blazer abu dan jeans terlihat sangat manly. Senyuman tipis membuat tampilannya makin menarik, Anin yakin bahwa sang pria baru saja mencukur bulu-bulu halus di sekitar rahang, aroma krim cukurnya tercium samar, dan anehnya itu malah menambah kesan lelakinya. Sang puan sampai terpaku beberapa detik di depan unit apartemen, enggan bergerak se-inchi pun.
"Anin?"
"Oh, ya!" Tangannya refleks menarik pintu, disusul bunyi kunci otomatis dari sensor yang ada di sana.
"Ada yang salah dengan penampilan saya?"
"Tidak. Cuma, kamu kelihatan lebih hidup." Kalau diingat-ingat, Anin lebih sering melihat Sagara dengan seragam damkar, oh satu pengecualian saat mereka menikmati teh di apartemen kemarin malam, jadi baru sekarang Anin benar-benar merasa dia dekat dengan seorang pria, bukan sedang les privat perkara bagaimana cara memadamkan api.
"Memangnya selama ini saya kelihatan setengah hidup, ya?" Mata di depannya mendelik, lalu berkedip beberapa kali, membuat Aga nyaris terkekeh. Kentara sekali, Anin gelagapan untuk memberi jawaban.
"Maksudku, kamu kelihatan tampan dengan baju itu," tambah Anin tanpa tedeng aling-aling. Dia bukanlah orang yang akan ragu memuji siapa pun, hanya saja, melihat pria itu malam ini membuatnya sedikit kehilangan fokus sampai susah menjabarkan apa yang hendak dikatakan.
"Saya paham ucapanmu sebelumnya, tapi mendengar pujian yang barusan sedikit lebih menyenangkan." Tangannya terulur ke depan, mempersilakan Anin jalan duluan.
"Takut atau tidak, bertemu orangtua aku?" tanya Anin, selagi mereka beriringan menuju lift.
"Lebih ke arah deg-degan, karena saya pikir, orangtuamu bukan kanibal. Jadi, takut bukanlah pilihan bagus."
Anin mau tidak mau mengulum senyum.
Sagara mengambil satu langkah ke depan setelah tiba di depan pintu, kemudian menekan tombol hingga lift tersebut terbuka. Selama itu, Anin memerhatikan lelaki di hadapannya, terlebih karena jarak di antara mereka cukup dekat, aroma aquatik dari wewangian yang dipakai pria itu mencuat lembut.
"Mas Aga sudah latihan, belum?"
"Latihan?"
"Ya, menjawab pertanyaan Papa atau mungkin menerima tantangan dari beliau. Papa itu… apa ya… orangnya sukar percaya orang baru."
"Tolong ceritakan lebih detail."
Anin berkedip cepat saat pria itu meraih ponsel dalam saku dan membuka catatan, lalu dua jempolnya bersiap di keyboard untuk mengetik.
"Kamu mau apa, Mas?" pertanyaan itu diiringi raut bingung, tidak menyangka dengan pergerakan Sagara barusan.
"Mau mempelajari Papa kamu, kalau boleh."
"Buat apa? Papa bukan mata pelajaran yang ada di kurikulum pendidikan, Mas Agaaaa." Karena gemas, refleks membuatnya mencubit pelan bisep lelaki itu.
Giliran Aga yang mengedipkan mata beberapa kali, kejadian barusan membuat keduanya hening sepersekian detik. Ketika lift sampai di basement, Anin yang menahan malu karena tangannya yang sok asyik menyentuh tubuh sang pria, memilih berjalan lebih dulu.
Mau ditaruh di mana mukanya?
Sambil menggigit bibir bawah, Anin berbalik lagi. Sengaja memblokade jalan keluar Aga, dengan kedua tangannya yang terentang ke samping.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Match
RomanceSesungguhnya Aga dan Anin sama-sama enggan dijodohkan. Namun setelah bertemu satu sama lain, Aga mengajaknya berteman. Di lain sisi, Anin malah lebih ingin berkencan. Yuk, intip kisah Mas Damkar dan Mbak-mbak pimpinan divisi IT yang ingin mengenal...