Chapter 8: Stone Hut

6 3 0
                                    

Kegelapan lagi-lagi menyelimuti perjalanan Tobias membelah desa yang penuh reruntuhan. Mengikuti si anak laki-laki, Tobias dan kawan-kawannya dibawa ke sisi barat desa yang rupanya masih diisi oleh beberapa rumah berpenghuni. Cahaya kuning terlihat menyala di balik jendela-jendela rumah berndinding batu.

"Apa kau akan membawa kami ke rumahmu?" tanya Tobias untuk kesekian kalinya. Namun, anak itu tidak menjawab dan hanya diam saja. Sedari tadi lontaran pertanyaan Tobias tidak digubris sama sekali. Pemuda itu sudah menanyakan nama anak itu, juga alasan kenapa anak kecil sepertinya berkeliaran tengah malam. Namun, semua pertanyaan itu menggantung begitu saja tanpa menemukan jawaban. Anak itu terus bungkam, seperti sedang melakukan aksi protes menolak bicara, entah apa masalahnya.

Tobias sedikit kesal karena diabaikan seperti itu. Akan tetapi, dia akhirnya memilih untuk tidak bertanya lagi dan berhenti bicara hingga anak laki-laki itu membawa rombongan mereka melewati jalan setapak yang sudah rusak. Setelah melewati tiga rumah, ia kemudian berbelok masuk ke gang kecil, lantas berhenti di sebuah pondok batu sederhana yang tampak muram karena penerangan lentera yang remang-remang. Undakan batu sebanyak empat baris memisahkan teras rumah tersebut dengan halamat sempit yang sederhana dan penuh daun-daun kering. Pohon tuska yang nyaris meranggas merindangi pondok tersebut, dan menggugurkan daunnya, hendak menyambut musim dingin.

Tobias mengikuti anak laki-laki itu menaiki undakan lalu berdiri di teras. Sambil menunggu anak itu membuka kunci pintu, ia memperhatikan rekan-rekannya yang tidak banyak bicara sepanjang perjalanan. Blaine sudah tampak kepayahan karena sedari tadi menggendong Anna di punggungnya. Sementara Agnes masih gemetaran hingga membuat zirahnya terus berkelontangan berisik.

"Perlu kubantu?" tanya Tobias meski dia tahu tawaran itu sudah sangat terlambat untuk dilontarkan.

Blaine menggeleng. "Tidak perlu. Kita juga sudah sampai," tukas Blaine dengan napasnya yang pendek-pendek kelelahan.

"A-apa rumah ini ... aman?" rintih Agnes tampak cemas memandangi busur dan anak panah pemandu kecil mereka.

Tobias menghela napas dengan tabah. "Tidak akan ada masalah, Agnes," ujarnya dengan nada menenangkan. Namun, Agnes tidak juga menunjukkan gejala akan pulih dari kecemasan.

Akhirnya pintu terbuka. Ruang tamu sederhana menyambut mereka, dengan lantai kayu yang tampaknya sudah usang. Sebuah perapian berkeletak di ujung ruangan, masih menyala dengan api yang tidak terlalu besar, menguarkan aroma kayu terbakar.

"Erm ... boleh kami masuk?" tanya Tobias yang masih berdiri di ambang pintu bersama rekan-rekannya. Si anak laki-laki itu belum mempersilakan tamunya untuk masuk dan hanya berjalan sendirian ke arah meja kayu sederhana di tengah ruangan.

Anak itu lantas menoleh ke belakang. Dengan cahaya dari perapian, Tobias akhirnya bisa melihat wajah anak itu dengan jelas. Ekspresinya datar, tetapi tatapannya sangat tajam. Terlalu tajam bagi anak seusianya.

"Silakan," ucap anak itu singat, lalu kemudian meletakkan busur dan anak panahnya di atas meja.

Tobias dan rekan-rekannya pun akhirnya masuk ke dalam pondok batu yang sederhana tetapi hangat itu. sambil tertatih-tatih, Tobias membantu Blaine menurunkan tubuh Anne lantas membaringkannya di kursi panjang samping meja kayu. Di atas kursi itu sudah dialasi tumpukan jerami kering yang dianyam sedemikian rupa hingga bisa terasa empuk.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Blaine saat melihat Tobias tengah berlutut memeriksa tubuh Anna.

"Sepertinya dia tertidur karena kelelahan menahan rasa sakit. Tapi kondisinya sudah lebih stabil," terang Tobias selepas memindai energi Anna dengan sihirnya.

"Syukurlah kalau begitu," desah Blaine kemudian.

Tobias kembali berdiri dan mendapati anak tadi sudah menghilang lagi, sepertinya masuk ke ruangan lain yang hanya bersekat tirai. Tobias menelaah lingkungan dalam rumah tersebut dan hanya mendapati ada satu lagi medan energi di dalam sana, selain energi milik si anak. Aura mereka tidak terasa mengancam, sehingga Tobias bisa bernapas lega.

Tale of The HistorianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang