Chapter 14: Inspection

8 3 0
                                    


Elaine tampaknya memang berniat menepati ucapannya. Semalam suntuk Tobias ditahan di kemah utama, sama sekali tidak dibiarkan untuk kembali ke kemahnya sendiri. Meski, tentu saja, bukan ditahan secara negatif, melainkan diperlakukan dengan cukup manusiawi sambil tetap dibujuk agar mau membantu Roladia.

"Saya sudah menyampaikan seluruh informasi yang saya ketahui. Tidak ada yang saya sembunyikan. Bamtuan semacam ini sudah lebih dari cukup dari seorang sejarawan," kata Tobias untuk kesekian kalinya.

"Jadi penyihir necromancer ini sudah membuat pasukan undead dari mayat prajurit Tiodore, lalu menyembunyikan diri di kaki gunung seberang lembah dengan selubung sihir yang tidak bisa ditembus oleh siapa pun?" rangkum Komandan Arne berdasarkan penjelasan Tobias.

"Dan batas sihir. Itu juga penting. Necromancer itu tidak akan bisa mengendalikan undeadnya melebihi jarak tertentu, yang tampaknya adalah di bibir lembah, tepat sebelum memasuki perkemahan Roladia," sambung Tobias nyaris frustrasi. Itu informasi yang berguna sekali, tetapi kenapa para tentara itu cenderung lebih banyak menggunakan otot mereka daripada otak untuk mengolah informasi sebagai senjata?

"Lalu kau bilang kalau penyihir itu juga butuh waktu beberapa hari untuk membuat undead itu bisa bangkit lagi setelah dikalahkan dalam pertempuran?" Sir Nicholas ikut menanggapi.

"Apa gunanya informasi itu? Jeda pertempuran seperti itu justru menguras waktu kita. Pikirkan sumber daya yang harus dihabiskan selama berada di garis depan!" sergah Komandan Arne kesal dan kelelahan.

"Kita juga tidak bisa menyerang penyihir itu secara langsung karena selubung sihir yang tidak bisa ditembus," gumam Elaine tampak berpikir. Tobias sedikit berharap gadis itu punya cukup keterampilan untuk membuat strategi yang jitu dengan informasi yang dia berikan. Meski sejujurnya, dia juga mengakui kalau mengalahkan necromancer semacam itu sangat sulit bagi manusia tanpa kekuatan sihir. Apalagi, kabarnya penyihir tersebut berasal dari Moroc. Kemampuannya tidak bisa dianggap remeh.

"Maka dari itu! Hanya penyihir yang bisa melawan penyihir. Pinjamkan kekuatanmu sekali ini saja, dan jasamu pasti akan dikenang oleh rakyat kami. Roladia pasti akan membalas budi," kata Komandan Arne berbalik ke arah Tobias. Malam ini saja dia sudah mendengar permintaan itu dilontarkan lebih dari sepuluh kali. Mulanya sopan, selanjutnya bernada memerintah, bahkan ada yang berupa ancaman. Namun, Tobias tetap tak tergoyahkan.

"Bahkan jika Dewa Vorrak yang memberi perintah, saya tidak bisa melanggar sumpah saya," jawab Tobias, yang saking kesalnya, sampai harus membawa-bawa nama dewa perang Vorrax, salah satu dewa dalam agama pagan yang dianut oleh sebagian besar rakyat di seantero benua. 

"Cih, kami sudah lama berhenti meminta pada dewa-dewa," sahut Elaine sembari berdecih. Sang putri itu pun akhirnya menarik napas panjang. Sama seperti yang lainnya, ia juga tampak lelah karena terjaga hingga larut malam sehabis pertempuran panjang. Menyadari kalau pembicaraan ini sudah tidak akan bisa berkembang lebih jauh lagi, Elaine tampak hendak memutuskan untuk mengakhirinya pembicaraan.

"Baiklah. Sepertinya tidak ada gunanya membujukmu lebih dari sini. Kau penyihir yang sangat keras kepala," ujarnya sambil mendesis kesal. Diacak-acaknya rambut emas panjang yang ikatannya sudah kendur dan berantakan itu. Meski tampak lelah, dengan mata menggantung. Elaine masih tampak cantik menurut Tobias.

Sial. Apa yang kupikirkan di saat seperti ini. Pikir Tobias buru-buru mengenyahkan opini tak masuk akal tersebut.

"Komandan Arne dan Nicholas. Silakan kembali ke kemah kalian dan beristirahat. Besok kita bicarakan lagi mengenai strateginya," perintah Elaine kemudian.

Komandan Arne dan Sir Nicholas lantas membungkuk sopan dan bersiap untuk pergi. Tobias mengerutkan kening, bingung karena dirinya tidak dibiarkan untuk undur diri seperti yang lainnya.

Tale of The HistorianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang