Chapter 7: Sudden Attack

6 3 0
                                    

Kegelapan hutan membayangi langkah Tobias malam itu. Di sampingnya Blaine berjalan sambil membopong Anna di punggung. Langkah mereka kecil-kecil karena yang akan pergi ke desa akhirnya bukan hanya kedua pemuda itu, melainkan juga Agnes, gadis muda berambut pirang yang mudah gugup.

Tobias menggunakan kemampuan sihirnya untuk membuat orbs putih menyala menerangi jalan mereka. Bola cahaya sebesar kepalan tangan itu melayang di depan mereka dan membantu untuk melihat setapak hutan yang sangat rapat.

Sudah lewat tengah malam ketika akhirnya rombongan kecil itu sampai di tepi pintu masuk desa. Anna terlihat seperti mau pingsan. Wajahnya pucat pasi dan peluh membasahi tubuhnya. Meski begitu, Blaine menggendong perempuan itu dengan mantap.

Tobias menatap desa gelap yang ada di depan mereka. hanya ada beberapa rumah yang lampunya menyala. Itu pun sangat redup. Sebagian besar bangunan lainnya tidak berpenghuni dan terlihat sudah tidak utuh di beberapa bagian.

"Kemana kita harus membawa Anna? Sepertinya tidak ada penginapan di sekitar sini," tanya Blaine turut menyapukan pandangannya ke desa sunyi itu.

"Kita coba minta tolong ke penduduk sekitar," jawab Tobias ragu. Dia sendiri tidak yakin orang-orang akan mau membantu, sementara hidup mereka saja sudah sulit. Namun, di saat seperti sekarang, tidak ada pilihan lain.

Maka keempat orang itu pun lanjut berjalan ke salah satu rumah reot kecil terdekat yang lampunya tampak menyala kekuningan. Tobias mengetuk, sementara Agnes dan Blaine berdiri di belakangnya. Lama tidak ada jawaban, dan setelah pemuda itu berulang kali mengetuk, nyaris mendobrak, akhirnya pintu dibukakan.

Seorang wanita bertubuh tambun dengan pakaian cokelat dan celemek kekecilan muncul dari dalam rumah. Ekspresinya tampak kesal, dengan sorot mata marah.

"Siapa kalian?" tanya wanita itu galak.

"Maaf mengganggu malam-malam. Teman kami sedang sakit, bisakah kami menumpang beberapa hari untuk merawat teman kami?" tanya Tobias dengan nada membujuk.

Wanita itu makin melotot. "Aku tahu siapa kalian. Ksatria ibu kota yang kemarin lewat di desa. Apa kau tidak melihat keadaan tempat ini? Kami semua juga sakit! Menderita gara-gara perang yang kalian timbulkan sendiri! Untuk hidup sendiri saja sulit! Bagaimana bisa aku menolong orang lain!" semburnya lantas membanting pintu.

Tobias, Blaine dan Agnes langsung reflek mundur saat pintu terbanting. Selama beberapa saat, tidak ada satupun dari mereka yang bicara, masing-masing menekuri sikap buruk yang ditunjukkan wanita pemilik rumah.

"Ayo ke rumah selanjutnya," kata Tobias sambil menghela napas, seolah sudah terbiasa menerima penolakan semacam itu. DIa memang sudah menduga bahwa tidak akan mudah meminta bantuan pada warga desa yang juga tengah menderita kemiskinan karena perang. Walau begitu, dia juga tidak bisa menyerah begitu saja. Entah bagaimana dirinya kini justru terseret ke masalah itu, padahal sebelumnya Tobias hanya penasaran dan ingin mengamati dari jauh.

Rasa penasaran itu berbahaya. Pikir Tobias sambil berjalan menyusuri setapak desa, mencari rumah lain yang berpenghuni. Sayangnya, desa itu lebih banyak berisi reruntuhan daripada bangunan layak huni. Semakin masuk ke dalam desa, kegelapan semakin pekat. Suasana menjadi lebih janggal daripada hutan yang sebelumnya mereka lewati. Bangunan-bangunan usang dan separuh roboh membuat tempat itu seperti kota mati.

"Berhenti sebentar," kata Tobias tiba-tiba. Dua rekannya yang berjalan bersama sontak terkejut dan menghentikan langkah.

"A ... ada apa?" tanya Agnes dengan suara bergetar. Gadis itu jelas sedang ketakutan. Bagaimana dia bisa bertahan di tengah medan pertempuran kalau mentalnya saja sepenakut itu. Namun, sekarang bukan waktunya mencemaskan perasaan gadis muda yang gemetaran itu. Tobias merasakan ancaman.

Dengan kepekaannya sebagai penyihir, Tobias bisa merasakan energi orang lain yang tengah mengepung mereka di balik kegelapan. Tidak ada rumah berpenghuni di sekitar situ, tetapi energi manusia terasa sedang mengitari mereka. Dengan perlahan, pemuda itu pun mengeluarkan sebuah pena dari balik mentelnya. Ia kemudian menuliskan sesuatu di udara kosong. Sebuah mantra.

Sulur-sulur cahaya emas redup keluar dari ujung penanya, membentuk semacam lingkaran sihir sebesar telapak tangan. "Lucem creare mea verba magica sunt," bisilk Tobias setelah lingkaran sihirnya selesai dibuat.

Seketika ukuran orbs yang menerangi perjalanan mereka pun membesar. Cahayanya semakin cerah dan mulai bergerak naik untuk menerangi area yang lebih luas. Akhirnya, dari balik reruntuhan dan gang-gang gelap, mulai keluarlah selusin pria dengan pakaian compang camping yang berjalan mengelilingi rombongan Tobias. Sorot mata orang-orang itu tampak liar, seperti predator yang hendak menangkap mangsanya.

"Dia seorang penyihir."

"Apa kita bisa menangkap mereka?"

"Kita harus menangkap mereka."

"Tidak semua penyihir itu kuat."

Orang-orang itu berkasak-kusuk di antara mereka sendiri sambil terus berjalan mendekat. Di tangan mereka, bilah-bilah senjata tajam tergenggam; pisau, sabit, kapak, dan semacamnya.

"Tunggu! Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?" sergah Blaine yang turut menyadari ancaman.

"Kalian dari rombongan ksatria yang kemarin. Serahkan barang bawaan kalian," ujar salah satu dari pengepung itu.

"Tidak! Kita harus menangkap mereka! Lihat tubuhnya. Dagingnya sangat tebal. Kita bisa bertahan sampai musim dingin," tukas yang lain membuat Tobias langsung mual.

"Apa ... apa yang kalian bicarakan? Jangan mendekat!" hardik Blaine tak kalah terkejut.

Akan tetapi, seolah tidak menghiraukan seruan itu, tiga orang dari mereka langsung berlari menerkam dengan senjata tajam terhunus. Agnes memekik keras sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Blaine yang tengah menggendong Anna pun hanya bisa menghindar sebisanya. Tobias-lah yang kemudian menyelamatkan mereka di tengah situasi genting itu.

Dengan pena yang sama, pemuda itu kembali menuliskan mantra di udara kosong dengan secepat kilat. Mantra singkat, sebuah serangan sihir yang sangat jarang dia gunakan, Glyph of Barrage. Namun, belum sempat dia merapalkan mantranya dalam kata-kata ucapan, panah-panah kayu melesat dari balik punggungnya dan langsung menyerang orang-orang yang tengah menerkam Tobias.

Ketiga pria itu jatuh tersungkur di tanah dengan masing-masing mendapat luka tancapan panah di lengan, perut dan bahu.

"Sial! Bocah itu mengganggu kita lagi!" seru salah satu dari pengepung yang tidak terluka. Dua di antara mereka tampaknya hendak menyerang lagi. Tobias masih merasakan ancaman, dan langsung menoleh ke arah teman-temannya yang justru tampak bingung.

"Agnes! Kau ini seorang ksatria! Hunuskan pedangmu!" sembur Tobias tegas.

Agnes masih tampak ketakutan, tetapi gadis itu pun menurut dan mengeluarkan pedangnya dengan tangan bergetar.

Dua pria tadi kembali menyergap, berusaha menangkap Tobias dan Agnes dari belakang. Namun, sekali lagi lesatan panah kembali menyerang orang-orang jahat itu sebelum mereka berhasil mendekati Tobias dan Agnes.

"Mundur!" seru salah seorang pria yang tampaknya ketua komplotan tersebut. orang-orang itu pun akhirnya pergi menjauhi Tobias, masuk ke dalam kegelapan, sambil menyeret teman-teman mereka yang terluka.

Tobias menyimpan kembali pena sihirnya ke dalam saku mantel, dan Agnes pun menyarungkan pedangnya masih sambil gemetaran.

"Terima kasih sudah menyelamatkan kami. Sekarang keluarlah," ujar Tobias sambil menatap ke satu titik di kejauhan, tempat dia bisa merasakan aliran energi manusia.

Seorang anak laki-laki kecil pun muncul dengan menggenggam busur sedarhana. Di punggung mungilnya, satu set anak panah yang sepertinya buatan sendiri, menggantung penuh.

"Kenapa kalian ada di desa malam-malam begini? Kalian ksatria yang kemarin, kan?" tanya anak itu sambil melirik ke arah Agnes dan Blaine yang masih mengenakan zirah. Tobias sendiri tidak suka mengenakan pakaian berat, sehingga zirah besinya dia tinggalkan di perkemahan. Mungkin Liam yang akan membantu meyimpannya di kereta barang angkutan.

"Akan kujelaskan sambil jalan. Tapi sebelumnya, bisakah kau membantu kami?" tanya Tobias kemudian.

Anak itu tampak berpikir. "Ikut aku," ujarnya kemudian. 

Tale of The HistorianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang