Chapter 9: Magic Power

4 3 0
                                    

Tobias terbangun oleh hawa dingin yang menyeruak masuk ke balik selimutnya. Pemuda itu mengerjap, dan mendapati diri sedang berbaring di atas karpet jerami di depan perapian yang sudah mati. Di sebelahnya, Agnes tidur membelakanginya, sementara Blaine tidur dalam posisi duduk sambil bersandar di dinding.

Tobias mengulat pelan, menimbulkan bunyi gemerisik dari alas jerami yang dia tiduri, lantas bangkit dari pembaringannya. Badannya kaku karena baru terlelap setelah lewat tengah malam, dan harus tidur di lantai dengan hanya beralaskan jerami kering. Meski begitu, dia tetap beranjak keluar pondok, berniat untuk mencuci muka di sumur belakang rumah.

Suasana desa masih sepi, meski tidak sesenyap sebelumnya. Hanya ada beberapa pria yang tampak berpatroli di kejauhan. Tobias mengabaikannya, dan kembali ke tujuan untuk membasuh wajahnya di belakang. Rupanya sang wanita tua sedang ada di sana, tengah memilah biji-biji oat yang masih bagus dari sebuah karung tua.

"Selamat pagi, Nyonya," sapa Tobias kemudian.

Sang wanita mendongak lalu mengangguk muram dengan senyum tipis. "Selamat pagi Ksatria Muda. aku sedang memilah bahan makanan, tapi kau lihat sendiri, persediaan kami tidak banyak. Apa kau tidak keberatan kalau kalian menunda sarapan? Cucuku akan berburu saat bangun nanti," ujarnya.

Buru-buru Tobias menggeleng. "Tidak masalah, Nyonya, tolong jangan pikirkan kami. Sepertinya juga kami tidak akan lama berada di sini. Pagi ini kami berencana untuk meninggalkan desa dan menyusul rombongan prajurit lainnya sebelum mereka terlalu jauh," jawab pemuda itu.

Wanita itu terlihat lega. Sepertinya dia juga sayang jika harus membuang-buang jatah makanan untuk tamu asing yang terlalu lama menginap. Meski begitu, dia tidak mengatakan apa-apa dan hanya mengangguk paham.

Tobias segera menyelesaikan urusannya membasuh wajah. Setelah lebih segar, ia pun membangunkan Blaine dan Agnes lalu menyuruh mereka segera bersiap-siap berangkat meninggalkan desa. Tak lupa, pemuda itu juga mendatagi kamar Anna untuk memeriksa keadaannya. Anna sudah bangun, dan sepertinya habis dirawat oleh sang pemilik rumah. Wajahnya masih pucat, tetapi dia sudah tidak terlihat kesakitan seperti sebelumnya.

"Terima kasih karena sudah membawaku ke sini," kata Anna saat Tobias sedang memeriksa denyut nadinya. "Dan maaf karena–"

"Jangan minta maaf," potong Tobias sambil tersenyum. "Kau adalah pasien. Sudah tugas kami untuk membantumu. Jadi jangan pikirkan apa-apa dan fokus untuk penyembuhanmu saja," lanjut pemuda itu.

Anna tersenyum tipis, lantas mengangguk.

"Apa kau bisa kembali ke ibu kota sendiri?"

"Akan kuatasi soal itu. Terima kasih sudah khawatir."

Tobias mengangguk. Keadaan Anna sudah lebih stabil. Karena itu dia merasa bisa meninggalkan perempuan itu di sini. Namun, saat hendak keluar kamar, Tobias mendapati Agnes sudah berdiri di ambang pintu sambil memasang ekspesi kuyu.

"Agnes? Kau tidak memakai zirahmu?" tanya Tobias yang seingatnya tadi sudah menyuruh gadis itu bersiap-siap.

"Aku ...," ucap Agnes ragu-ragu. Ia tampak salah tingkah, tetapi Tobias sepertinya bisa menebak apa yang hendak dikatakan gadis itu. "... bisakah aku tetap di sini dan menjaga Anna saja?" lanjutnya persis seerti dugaan Tobias.

Pemuda itu menghela napas. Alih-alih kecewa, Tobias justru merasa lega. "Sepertinya memang lebih baik kau tetap di sini. Jadi Anna juga bisa punya teman untuk kembali ke ibu kota," tukasnya tenang.

Ekspresi Agnes berubah senang. Gadis itu tampak berseri-seri seolah habis mendapat izin dari ayahnya untuk pergi ke pesta. "Terima kasih," katanya penuh syukur.

Tale of The HistorianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang