Chapter 3

913 150 100
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya 🙆🏻‍♀️

──── .✦

Suara kecupan dua bibir yang beradu terdengar samar di antara desiran angin, mengiringi isakan pelan Elora. Meskipun air mata berlinang di wajahnya, ciuman mereka tetap terjalin, seolah menolak kenyataan pahit bahwa cinta yang mereka bagi mungkin tidak akan menemukan ruang untuk bertahan.

Tangan kiri Alex yang kekar melingkari pinggang ramping Elora, perlahan turun meremas bokongnya dengan gerakan yang mendominasi, sementara tangan kanannya menarik tengkuk Elora, memperdalam ciumannya seolah ingin menyatu dengan wanita yang ia cintai sepenuh jiwa.

"Jika aku tidak bisa memilikimu, maka pria lain juga tidak akan bisa," bisik Alex di sela-sela ciuman mereka, nadanya penuh ancaman namun juga desperasi. Nafasnya terengah, bukan karena gairah, tetapi karena takut kehilangan.

Elora terisak lebih keras, rasa sesak di dadanya tak tertahankan lagi. Ia merasa terperangkap dalam situasi yang tak memberinya pilihan. Hatinya hancur mengetahui bahwa kebahagiaannya, impian tentang masa depan, perlahan terlepas dari genggamannya.

Dengan tangannya yang lemah, Elora mendorong dada Alex sekuat tenaga, membuat pria itu terpaksa mundur selangkah dan melepaskan tautan ciuman mereka.

"Aku tak bisa… Alex, aku sungguh tidak bisa. Maafkan aku," ucap Elora dengan isak tangis yang tersendat. Matanya berkaca-kaca, menunjukkan penderitaan yang begitu dalam.

Tanpa ragu, Alex langsung menangkup wajah Elora dengan kedua tangannya, mengusap air mata yang membasahi pipi mulus wanita itu. Namun, Alex sendiri tak mampu menahan emosinya. Pipinya basah oleh air mata, dan pandangannya terfokus penuh pada mata hijau Elora, seolah takut jika ia berkedip, Elora akan lenyap dari kehidupannya.

"Aku juga tak bisa... Aku tidak bisa hidup tanpamu," bisik Alex, suaranya serak, penuh kepedihan. Rasa putus asa yang terdengar dari setiap kata membuat hati Elora semakin remuk.

Alex mendekatkan wajahnya ke wajah Elora, menyatukan kening mereka dengan lembut, seolah berharap rasa sakit mereka bisa terbagi dalam keheningan itu.

"Aku mohon, tolong aku Elora," lanjut Alex, suaranya hampir pecah. "Aku juga tidak bisa… Bagaimana ini? Bagaimana aku bisa hidup jika tidak ada kamu?"

Elora diam, tak mampu menjawab. Tangannya perlahan naik, menggenggam tangan Alex yang masih di pipinya, ia bisa merasakan detak jantung pria itu yang sama berantakannya dengan miliknya. Mereka berdua terisak, saling memandang dengan rasa cinta yang begitu kuat, namun terhalang oleh takdir yang seolah tak berpihak.

Isakan Alex tiba-tiba berhenti. Pandangannya berubah, mata kecoklatannya menyoroti mata hijau Elora dengan intensitas yang baru, sebuah tekad yang tumbuh di dalam hatinya.

"Ayo kabur denganku," suara Alex serak, penuh harapan yang nyaris putus asa.

Ajakan itu lebih dari sekadar pelarian, itu adalah permohonan terakhir, jalan keluar dari dunia yang tampaknya telah berkonspirasi untuk memisahkan mereka.

Napas Elora tercekat. Matanya kabur oleh air mata yang tak kunjung berhenti. Ia memandang Alex dengan tatapan hancur, seolah mencari jawaban di dalam sorot matanya, namun yang ia temukan hanya bayangan masa lalu mereka, indah, tetapi jauh.

"Alex, aku tidak bisa—"

"Kau bisa, Elora!" potong Alex dengan suara yang hampir meledak, suaranya bergetar oleh ketidakberdayaan. "Kau mencintaiku… Kau selalu mengatakannya! Jangan biarkan mereka menghancurkan itu!"

Napas Elora mulai memburu, dadanya sesak oleh emosi yang tak bisa ia bendung lagi. Air mata mengalir deras, semakin deras. Satu isakan meluncur dari bibirnya yang gemetar sebelum Alex menariknya dalam ciuman yang penuh gairah, mendesak, seolah waktu mereka hampir habis.

"Kau bisa, Elora," bisik Alex, suaranya serak, nyaris hancur, bibirnya hanya beberapa inci dari bibir Elora yang bergetar. "Katakan kau bisa," lanjutnya sebelum melumat bibirnya lagi, kali ini lebih dalam, lebih putus asa.

"Kau mencintaiku," bisiknya dengan intensitas yang menyala, di sela-sela ciuman yang semakin panas dan menyakitkan. "Katakan, Elora... Kau mencintaiku."

Elora terjebak di antara dua dunia, dunia yang ingin ia tinggalkan dan dunia yang ia inginkan. Ciuman Alex mengalirkan panas ke seluruh tubuhnya, membangkitkan rasa cinta yang lama terpendam.

Tetapi pada saat yang sama, di kepalanya, suara pernikahannya dengan pria pilihan ayahnya bergema seperti pukulan palu di ruang kosong, mengingatkannya akan kenyataan yang ia coba hindari.

Saat bibir Alex kembali menemukan miliknya, Elora merasa jiwanya hancur. Ia mencintai Alex, itu tidak bisa dipungkiri. Tetapi seberapa jauh cinta bisa membawanya pergi dari semua ini?

──── .✦

Bagian paling menyakitkan dari hidup adalah ketika kamu hanya bisa berdiri diam dengan tatapan kosong, merasakan air mata mengalir tanpa henti, karena satu-satunya pilihan yang tersisa adalah bertahan dalam situasi yang tak pernah kamu inginkan. Inilah yang kini dirasakan Elora.

BMW putihnya perlahan berhenti di halaman mansion mewah milik keluarganya. Ia menatap bayangan dirinya di kaca, wajahnya memerah akibat tangisan panjang selama perjalanan pulang. Ia mencoba menenangkan napasnya, meski hatinya masih diliputi kegelisahan. Perlahan, Elora mengusap pipinya yang basah dengan jari-jari gemetar, mencoba meredakan badai emosi yang berkecamuk di dadanya.

Saat keluar dari mobil, langkah Elora terhenti sejenak. Ia melihat dua mobil mewah terparkir di halaman. Mobil-mobil itu jelas bukan milik ayahnya. Dia mengernyitkan alis, kecurigaan mulai mengalir dalam benaknya. Siapa tamu yang datang kali ini?

Elora berjalan mendekati pintu besar yang dijaga dua pria bertubuh tegap. Saat ia semakin mendekat, salah satu penjaga menunduk hormat dan menyapanya dengan suara penuh penghormatan.

"Keluarga Canossa datang berkunjung, Nona," ucap penjaga itu.

Sejenak, dunia Elora berhenti. Keluarga Canossa? Itu berarti… pria yang ditakdirkan menjadi tunangannya juga ada di sana. Rasa gugup dan gelisah menyeruak, membuat napasnya terasa semakin berat. Haruskah ia masuk? Atau pergi lagi? Namun, hatinya tahu, menghindar bukanlah jawaban.

Dengan tarikan napas panjang, Elora memutuskan untuk melangkah masuk. Setiap langkahnya diiringi debar jantung yang semakin cepat. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer dengan ritme tenang, namun hatinya tidaklah setenang itu. Dia berusaha menjaga ketenangan, meski pikirannya berputar-putar dalam kegelisahan.

Saat memasuki ruang tengah, semua mata beralih kepadanya. Ruangan yang biasa terasa nyaman, kini menyempit dengan pandangan penuh tanya dari tamu-tamu yang duduk anggun di sofa mewah. Mata Elora bergerak gelisah, menyapu wajah-wajah asing yang menatapnya seolah menilai. Di tengah mereka, berdirilah ayahnya, Jade dengan senyum penuh kebanggaan.

"Itu dia, putri paling cantikku," seru Jade dengan bangga, seolah ingin memamerkan Elora di depan tamu mereka.

Elora tersenyum tipis, mencoba membalas sorot mata ayahnya. Namun, pandangannya segera teralih ketika ia melihat sosok pria yang duduk di sofa single.

Mata mereka bertemu, mata abu-abu tajam yang memancarkan keheningan misterius, dingin, namun tak terelakkan. Elora yakin satu hal, pria itu adalah Ran Canossa, pria yang hendak dijodohkan dengannya.

Elora merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Sorot tajam dari mata Ran seolah menelusuri jiwanya, mengunci semua kata yang ingin diucapkannya. Inilah titik awal dari takdir yang tak pernah ia pilih, namun tak bisa ia hindari.

──── .✦

Fallen Angels
[13 Oktober 2024]
-
-

FALLEN ANGELS: Being Mafia Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang