Chapter 3: Curiga

57 11 0
                                    

Seperti Hiraeth, Alea merindukan semua hal di masa lalu yang dimana dirinya masih mendapatkan kasih sayang penuh oleh kedua orangtuanya. Perasaan rindu yang mendalam akan tempat atau masa lalu. Semua itu, Alea rindukan.

Seandainya kejadian kala itu tidak terjadi mungkin saja dirinya masih mendapatkan kasih sayang sampai sekarang. Seandainya waktu itu dirinya yang kena bukan malah Abangnya, pasti ia masih merasakan apa itu arti keluarga cemara yang sesungguhnya.

Terkadang sering kali Alea menyalahkan diri sendiri akan hal itu. Hidup Alea itu bisa dibilang tidak tenang, ia hidup dengan rasa bersalah yang berlebihan.

"Lo lagi ngapain, sih? Lama banget di perpustakaan," ucap Alaska.

Alea menoleh, menatap pacarnya yang sudah ikut duduk disampingnya. "Lagi baca-baca aja biar pintar kayak Alina," kekeh Alea menjawab.

"Sayang, semua manusia itu sudah ditakar dalam hal ini. Kamu pintar dalam versi diri kamu sendiri, Alina juga pintar dengan dia menjadi diri sendiri," ucap Alaska.

Alea tersenyum kecil, Alaska benar. Semua sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. Seharusnya dirinya tidak perlu repot-repot untuk menjadi orang lain.

"Coba dengerin kata gue, lo itu udah pintar dengan menjadi diri sendiri. Jadi, mulai sekarang coba jangan insecure sama orang lain. Kamu juga nggak perlu jadi seperti orang lain di luaran sana, karena kamu juga udah pintar dengan menjadi diri sendiri," sambung Alaska.

"Aska, terima kasih."

"Sama-sama, sayangku. Kita makan dulu, yuk. Mumpung belum bel masuk." Alaska tersenyum manis, merapikan anak rambut yang berusaha menutupi wajah cantik Alea.

"Ayo,"

"Bukunya taro dulu ke tempat asalnya. Takutnya dia lupa jalan pulangnya," kekeh Alaska.

Alea bergeming mendengar itu, tapi berusaha untuk tersenyum tipis. 'Gue juga lupa jalan pulang, Ka, kalau lo pengen tau.'

Alea berjalan, meletakkan buku yang barusan dirinya baca ke tempat semula. Setelahnya, Alea kembali menghampiri Alaska yang sudah berdiri di depan perpustakaan.

"Tumben banget ke kantin bareng," celetuk Keenan yang ikut bergabung di meja Alea dan Alaska.

"Sirik banget jadi bocah, makanya nyari cewek!" Alaska memutar bola matanya malas. Bisa-bisanya curut satu ini melihat dirinya tengah bersama Alea di kantin.

"Lagi nungguin cewek yang gue taksir putus sama cowoknya," jawab Keenan ngasal.

Alea mendelik, "Lo naksir sama ceweknya siapa, anjir?!"

"Ya, biasalah anak cowok." Keenan menaik turunkan alisnya, tengil.

"Bego, cewek orang ditungguin kapan putus," sarkas Alaska merasa bahwa Keenan tidak mau dan tidak berniatan untuk move on.

"Tapi, btw, gue penasaran siapa ceweknya."

"Berisik, Lea. Lo juga pasti tau nanti," ucap Keenan lalu pergi dari sana.

Keenan Dirgantara, salah satu sahabat Alea sejak kecil. Mereka bertemu saat masih di taman kanak-kanak dahulu. Alea ingat sekali, Keenan yang mendekatinya lebih dahulu dengan caranya yang tengil tidak ketulungan.

Dan benar saja, sifat itu terbawa sampai Keenan dewasa sekarang ini. Atau bahkan, tidak akan hilang sampai cowok itu tua nanti.

"Dia rese banget, ya," ucap Alaska.

Alea yang tengah mengunyah siomay itu mengangguk setuju, "Banget, sampai kadang gue kesel sendiri sama itu bocah."

"Lo suka sama Keenan?" Pertanyaan bodoh keluar dari mulut Alaska yang membuat Alea menghentikan kunyahannya.

HIRAETH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang