Chapter 1

156 9 5
                                    

Entah apa yang terjadi dengannya, setelah ia menandas habis minumannya, ia merasakan syaraf-syarafnya seakan tak berfungsi. Tangannya tidak bisa digerakkan, kakinya tak lagi sanggup menjadi tumpuan. Tubuhnya begitu kaku, motoriknya seperti mati. Tiba-tiba ia collaps di tengah seminar novel terbarunya. Semua orang begitu panik dengan insiden yang begitu tiba-tiba. Wacana berita yang awalnya meliput tentang review dan promosi novelnya, mendadak berubah menjadi berita duka mengenai tumbangnya dirinya. Sayup-sayup ia bisa mendengar sang adik begitu khawatir padanya. Adiknya itu duduk memangku menjadi bantalan kepalanya. Di tengah riuh kepanikan, tanpa mereka sadari seorang security nampak diam-diam menjauh dari kerumunan dan menemui seseorang. Seseorang itu kemudian tersenyum miring sambil merogoh bagian dalam jaketnya. Sebuah amplop tebal keluar dari balik jaket itu.

"Kerja bagus, ini bayaran anda," kata orang itu.

Orang itu menatap  si security dengan tajam. Sedangkan security itu bergidik ngeri sebelum akhirnya pergi dari tempat itu setelah mengambil bayarannya.

"Aksara, lo nggak seharusnya di atas gue," gumamnya sambil tersenyum sinis.

***************

Setelah insiden enam bulan lalu, Aksara didiagnosa kelumpuhan. Membuatnya harus terbaring lemah setiap hari di tempat tidur. Sejak saat itu pula, dia dirawat oleh saudara-saudaranya. Orang tuanya memang sudah meninggal, ayahnya meninggal empat tahun yang lalu, sedangkan ibunya menyusul sang ayah satu setengah tahun yang lalu. Sekarang, dirinya yang kini jatuh sakit. Aksara memandang seseorang yang kini tengah menatapnya malas. Dia tahu, orang yang ada di depannya sekarang ini pasti sudah terlalu lelah mengurusnya. Dia membawa baki dengan sepiring makanan dan segelas minuman lalu meletakkannya di atas nakas.

"Aksara lo tuh sebenernya niat sembuh nggak, sih?" tanyanya kesal.

"Bang...Can...ma-af," kata Aksara terbata.

Bang Can, Aksara memangilnya begitu. Namanya Candra, dia kakak Aksara. Si sulung tujuh bersaudara.

"Gue nggak butuh maaf lo. Gue maunya lo usaha biar sembuh!" kata Candra sedikit ketus.

Candra sebenarnya sudah sedikit lelah untuk merawat Aksara yang entah sebenarnya memang niat untuk sembuh atau tidak? Sudah enam bulan sejak Aksara mengalami kelumpuhan, sudah dibawa untuk terapi setiap minggunya. Uang tabungan Aksarapun, sudah mulai menipis. Mengapa adiknya ini tetap tidak kunjung sembuh juga? Candra sudah lelah dan memilih menyerah membiarkan keadaan Aksara yang lemah begitu saja.

"Bang...ka-sih...gu-e...ke-sem-pa-tan, gu-e...ju-ga...pe-ngin...sem-buh," kata Aksara terbata.

Rupanya kelumpuhannya, membuat Aksara mengalami disartria, suatu gangguan kesulitan bicara.

"Cukup! Gue udah capek," kata Candra kemudian memilih meninggalkan Aksara yang kelaparan.

Sambil menahan rasa lapar, dia mengerling ke sudut kamarnya. Dilihatnya, sebuah rak berisi novel-novel best seller -nya dahulu.

'Gue juga pengin sembuh, pengin nulis lagi.'

Tak lama setelah itu, terdengar suara decitan pintu. Seseorang masuk ke kamarnya. Apakah Candra berubah pikiran?

"Bang Aksa?" Suara bariton itu terdengar lebih rendah dari suaranya.

"Sat...ri...a." Satria, adik kesayangannya masuk ke kamarnya.

Padamu, Aksara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang