Chapter 9

96 11 0
                                    

Dalam kegelapan, suara air kran berpadu dengan suara 'srang-srung' mengusik mimpi indahnya. Suara itu semakin jelas bak alarm rusak yang berhasil membawa Pamungkas kepada cahaya mentari pagi. Pamungkas melengguh terganggu, dia melirik Aksara di sampingnya yang juga ikut terbangun karena suara itu.

"Bang? Bang Sat? Lo di kamar mandi?" tanya Pamungkas.

Siapa lagi yang menggunakan kamar mandi di kamar Aksara selain dirinya dan Satria. Mereka selalu tidur kamar itu, juga sesekali menggunakan kamar mandi di kamar itu. Tak lama seseorang masih dengan piyama keluar dari kamar mandi. Langkahnya sedikit lemah, wajahnya juga pucat, belum lagi tetes demi tetes lendir yang mengalir dari hidungnya.

"Bang Sat, lo sakit? Mukanya pucet banget," Pamungkas memastikan.

"Pusing dikit, tapi nggak apa-apa. Nanti minum obat juga sembuh," kata Satria.

" Bang, mending lo-" Belum selesai Pamungkas bicara, Candra datang mengecek mereka.

"Kalian udah bangun?"

Hanya sebatas basa-basi, Candra tahu hanya dengan melihat adik-adiknya membuka mata artinya mereka sudah bangun.

"Kenapa, Bang? Pagi-pagi udah kesini aja?" tanya Pamungkas.

"Abang cuma mau bilang, Abang udah daftarin Aksara ke tempat terapi dan kita dapet jadwal hari ini," jawab Candra.

"Terapinya hari ini?" tanya Satria.
Candra hanya mengangguk.

"Nanti siap-siap ya," kata Candra
"Bang Can, boleh minta tolong nggak?" tanya Pamungkas.

"Minta tolong apa?" tanya Candra.

"Bang Sat...eh, maksudnya Bang Satria lagi sakit, Bang. Boleh jagain Bang Aksa bentar nggak? Gue mau nganter Bang Satria ke kamarnya," kata Pamungkas.

"Lo sakit, Sat?" tanya Candra.

Dia baru menyadari saat melihat wajah Satria yang ternyata memucat.
"Nggak, Bang gue -"

Perkataan Satria terpotong.
"Ya udah, lo istirahat aja. Pamungkas juga ada kelas pagi, kan? Nanti Aksara biar Abang yang urus sampe berangkat terapi nanti," kata Candra.

Setelahnya, Satria tak membantah, Pamungkas kemudian menuntunnya keluar dari kamar Aksara.

***************

Entah sudah berapa kalinya? Jika itu tentang Aksara pasti akan berakhir perdebatan di meja makan.

Candra memilih memberitahu saudara-saudaranya tentang niatnya membawa Aksara terapi.

"Kenapa Bang Can bawa dia terapi lagi sih?! Bukannya malah nambah pengeluaran? Giliran dia nggak sembuh, nanti nyesel!" kata Bumantara kesal.

"Abang cuma kasih tau kalian, biar kalian nggak merasa dibohongi atau gimana- Abang cuma mau terbuka sama kalian sebagai keluarga," kata Candra.

Barra hanya menghela napas, dia memang tak banyak bicara. Tak peduli dengan perdebatan pagi ini. Sebenarnya, dia juga lebih setuju dengan Bumantara. Untuk apa repot-repot membawa Aksara terapi? Menyusahkan!

"Tapi, Bang. Lo tau kan ekonomi kita lagi nggak stabil," kata Surya.

"Iya Abang tau, tapi Abang udah ada sedikit tabungan. Abang nggak minta uang kalian, kok. Ini inisiatif Abang sendiri," kata Candra.

Mendengar itu mereka diam, setidaknya tidak ada yang merasa dibebani untuk biaya terapi Aksara.

***************

Candra terus mengumpat sambil menuntun Aksara keluar mobil. Kata-katanya begitu kasar keluar bak simfoni menakutkan yang begitu nyaring di telinga Aksara. Aksara hanya bisa diam sambil hatinya memohon pada Tuhan untuk memberinya pertolongan. Mereka berada di pinggir jalan raya. Candra terkekeh saat mengingat bagaimana wajah polos Satria dan Pamungkas yang mempercayainya begitu saja. Dia tak membawa Aksara terapi, melainkan berniat membuangnya di pinggir jalan.

"Sorry, ya...gue ninggalin lo di sini," kata Candra dengan senyum licik mendudukkan Aksara di kursi roda dan meninggalkan Aksara di sana, dia berniat untuk berkeliling menikmati indahnya jalanan.

Siapa yang mau repot-repot mengurus orang lumpuh? Dia tidak punya waktu. Setelah mobil itu berlalu, tiba-tiba suara petir menggelegar seakan membelah langit.

***************


Padamu, Aksara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang