Chapter 10

94 9 0
                                    

"BANG AKSA!!!" teriak Satria tiba-tiba.

Napas Satria terus memburu tatkala ia terbangun dari mimpi buruknya. Suara petir seakan menambah suasana kian mencekam.

"Bang Sat! Lo bikin gue kaget aja," kata Pamungkas yang baru saja terbangun karena teriakan Satria.

Sepulang kuliah Pamungkas sejak tadi menunggu Satria yang tertidur pulas di ranjang. Dia sampai ikut tertidur karena lelah juga bosan karena Satria tak kunjung bangun. Satria menoleh ke samping sembari mengatur napasnya.

"Pamungkas, Bang Aksa mana? Dia udah pulang, kan?" tanya Satria lemah.

"Belum, Bang. Bang Can sama Bang Aksa belum pulang, mungkin ngantri atau kejebak hujan kali," jawab Pamungkas.

Satria menoleh ke arah jendela. Hujan ini persis seperti di mimpinya. Apa mimpinya berubah menjadi nyata? Atau ia masih berada dalam dimensi mimpi yang lain? Memikirkan itu membuat kepala terasa berat. Seperti sesuatu menghantam ekspetasinya hingga membuat rasa nyeri datang tanpa aba-aba. Dia merintih memegangi kepalanya. Dia seakan berputar mengikuti rotasi dunia.

"Sakit...Bang Aksa, gue...mau ketemu Bang Aksa," kata Satria meracau.

"Bang, lo jangan banyak pikiran. Bang Aksa lagi terapi, mereka pasti pulang," kata Pamungkas menangkan sembari mengelus punggung Satria.

"Kas, gue sakit banget. Bang Aksa...gue mimpi dia dibuang...dia kedinginan...dia kehujanan," kata Satria masih memegangi kepalanya.

"Cuma mimpi, Bang... cuma mimpi," kata Pamungkas kembali menenangkan.
"Kenapa...Bang Aksa...belum pulang juga?" kata Satria.

Setelahnya, kilat langit kembali menggelar. Hujan semakin deras. Satria menutup telinga, suara itu seakan menuntunnya kembali pada ingatan mimpi buruknya.

"Bang Can... telepon Bang Can...gue pengin liat Bang Aksa," kata Satria semakin merintih.

"Iya, iya. Gue coba telepon Bang Can, ya. Lo tenang," kata Pamungkas segera meraih ponselnya dan mencoba melakukan panggilan pada Candra.

'Nomor yang anda tuju, tidak merespon. Cobalah beberapa saat lagi'

Gurat khawatir itu kembali datang dikala Satria mengetahui jika Candra tak mengangkat panggilan dari Pamungkas. Itu membuat Pamungkas dua kali lipat khawatir, pertama karena Satria yang terus merintih kesakitan karena memikirkan Aksara, kedua karena dirinya juga khawatir jika mimpi Satria benar-benar menjadi nyata.Tidak! Itu tidak mungkin! Bukankah Candra membawa Aksara karena sayang padanya? Candra tidak akan mengecewakannya, kan? Candra tidak membuang Aksara seperti mimpi Satria, kan? Tapi mengapa Candra tak menjawab panggilannya? Apa Candra takut kebusukannya terbongkar? Tidak! Sekali lagi, tidak! Bang Can - nya tidak mungkin sejahat itu! Kemudian, Pamungkas mencoba melakukan panggilan sekali lagi. Dan akan ia ulangi sampai Candra mengangkat panggilannya.

***************

Candra masih fokus mendengarkan penjelasan dokter. Dia merasakan sejak tadi ponselnya bergetar, pasti ada panggilan masuk. Dia sama sekali tidak ada niatan untuk mengangkatnya. Dia lebih tertarik untuk berbincang dengan seorang berjas putih di depannya.

"Jadi, berapa persen kemungkinan adik saya bisa sembuh, Dok?" tanya Candra.

"Prosentase -nya cukup baik, kita bisa dapatkan 70% dari keseluruhan," kata terapis yang juga seorang dokter itu.

"Sebesar itu, Dok? Kenapa anda sangat yakin?" tanya Candra.

"Rata-rata pasien yang saya tangani, mereka datang dengan jangka waktu sakit sekian tahun. Saya selalu mendapat prosentase imbang, fifty-firty. Tapi kali ini, adik anda memiliki jangka waktu sakit yang masih pendek, artinya kita mendapatkan satu poin keberhasilan karena ini akan mudah untuk disembuhkan," jelas dokter itu.

Padamu, Aksara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang