Chapter 8

92 10 2
                                    

Lima bujang Bramasakti sedang makan  sore bersama, tanpa Candra dan Aksara.

"Itu makanan banyak mau lo bawa kemana, Kas?" tanya Bumantara saat melihat Pamungkas menyendok beberapa makanan dengan porsi cukup banyak.

"Buat Bang Aksa," jawab Pamungkas.
"Nggak kebanyakan?" tanya Bumantara lagi.

"Nggak, kok. Bang Aksa emang harus banyak asupan," jawab Pamungkas.

"Kenapa?" tanya Bumantara lagi.

"Soalnya Bang Aksa sekarang kurusan,dia harus banyak asupan biar berisi," jawab Pamungkas.

"Bagus, kan? Biar cepet mati. Daripada hidup nyusahin," kata Bumantara sarkas.

"JAGA YA, MULUT LO !!!" Satria tersulut emosi, dalam sekejap dia merasa panas dalam pikirannya.

Matanya bak menyorot api amarah yang siap membakar apapun. Tangannya dengan kasar ia hentakan pada meja makan. Detik berikutnya, suara bergetar piring-piring dan gelas bergetar seiring dengan bunyi gebrakan meja makan yang memekakan telinga.

"Kas, lo langsung ke kamarnya Bang Aksa aja! Nggak usah dengerin omongannya!" titah Satria.

Seketika Pamungkas pergi dari meja makan.

"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Bumantara dengan wajah lugu yang dibuat-buat.

Surya dan Barra masih mengawasi perdebatan Satria dan Bumantara.

"Bukannya bagus, ya? Kita juga nggak direpotin. Dia juga nggak akan ngerasain sakit lagi," kata Bumantara yang membuat situasi semakin memanas.

"Nggak usah pake do'a in mati juga! Dan lagi, selama ini juga yang ngerawat Bang Aksa cuma gue sama Pamungkas doang. Lo nggak ada andil! Kenapa jadi sok playing victim direpotin?!" kata Satria marah.

"Lo pikir siapa yang ngurusin tuh Abang penyakitan kalo lo sama Pamungkas nggak ada?! Gue juga ikut andil!" Bumantara balik membalas.

"Andil nelantarin? Lo nggak inget apa yang lo lakuin kemarin sama Bang Aksa?!" sergah Satria.

Dia baru saja ingin mendekat melayangkan pukulannya pada Bumantara sebelum tiba-tiba dengan penuh kemurkaan Barra menggenggam erat segelas air dan melemparnya ke lantai. Keping-keping pecahan gelas berhamburan, airnya tumbah bak menari-nari di udara seperti mozaik sebelum akhirnya melebur ke lantai. Surya kemudian menahan Satria.

"Cukup, kalian berdua! Jangan bikin selera makan gue ilang. Kita udah capek kerja tapi kalian malah berantem nggak jelas!" bentak Barra.

Karena kesal, Satria menyentak tangannya agar terlepas dari Surya dan memilih meninggalkan meja makan.

***************

Kerutan khawatir itu muncul saat Pamungkas ingin menyuapi Aksara.

"Lo kenapa, Bang?" tanya Pamungkas khawatir saat dirinya yang ingin menyuapkan makanan justru di tolak oleh Aksara.

"Ada apaan, nih?" Tiba-tiba Satria masuk ke dalam kamar.

"Bang Satria, ini Bang Aksa nggak mau makan," kata Pamungkas sendu.

"Bang, lo kenapa? Nggak enak makan? Atau perut lo sakit?" kata Satria lembut.

"U-dah...ke-nyang...ta-di...di...su-a-pin...Bang...Can," jawab Aksara terbata.

"Bang Can?" tanya Pamungkas bingung.
Seakan mengerti kebingungan adiknya, Satria tersenyum berniat menjelaskan.

"Gue belum bilang, ya? Tadi siang Bang Can pulang dia nyuapin Bang Aksa, dia ngurusin Bang Aksa, terus waktu selesai makan, dia bilang dia mau bawa Bang Aksa terapi lagi," jelas Satria.

"Serius? Lo nggak lagi tidur siang terus mimpi, kan?" tanya Satria tak percaya.
Namun, tak menutupi jika dia begitu antusias mendengarkannya.

"Nggak, ya. Nyata ini!" kata Satria sembari mencubit lengan Pamungkas pelan namun menyengat.

Pamungkas meringis menahan sakit.
"Dan lo tau, dia ngelakuinnya demi siapa?" tanya Satria.

Pamungkas kembali penasaran.

"Demi lo," tambah Satria.
Pamungkas hanya melirik tak menyangka.

"Berarti... bentar lagi Bang Aksa bisa sembuh dong," kata Pamungkas.

"Makasih ya, karena lo Bang Can mulai perhatian lagi sama Bang Aksa. Bang Can mulai jadi Abang yang baik buat kita semua, termasuk Bang Aksa," kata Satria.

"Terus terapinya mulai kapan, Bang?" tanya Pamungkas.

"Belum tau, semoga aja secepatnya. Gue juga nggak sabar," jawab Satria.
Dia melirik seporsi makanan yang Pamungkas bawa.

"Bye the way, itu makanannya nggak dimakan kan?" tanya Satria.

Ketika di meja makan tadi, dia belum kenyang tetapi juga tidak berselera karena berdebat dengan Bumantara. Dan kali ini perutnya mulai keroncongan.

"Enak aja! Ini buat Bang Aksa ya. Biar berisi badannya. Iya, kan Bang?" elak Pamungkas.

Namun, Aksara menggeleng dia memang sudah cukup kenyang. Dia tidak pernah makan dalam porsi berlebihan. Jika sudah dirasa cukup dia akan meminta berhenti.

"Nah, kan. Emang rezeki gue itu," kata Satria senang.

***************

Padamu, Aksara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang