Chapter 4

107 13 0
                                    

"Bibi!!!" kata Pamungkas menyergah tanpa aba-aba dan dengan kasar melempar baki dengan sepiring makanan yang sebagian utuh ke wastafel.

" Kenapa, Den?" tanya Bi Mae terkejut.

"Bibi kan tau, Bang Aksa lagi sakit! Kenapa Bibi tinggalin makanan di pangkuan Bang Aksa!" kata Pamungkas marah.

"Loh, Den...itu kan makanan yang Bibi disiapin buat makan siang Den Aksara. Tadi saya kasih ke Den Bumantara, emang nggak di makan sama Den Aksara? "

Bi Mae bingung karena tidak tahu apa-apa. Dia hanya menuruti perintah salah majikannya saja, tapi ia tidak tahu resikonya untuk majikannya yang lain.

"Bang Tara? Dia ngapain?" tanya Pamungkas kala ia mendengar salah satu kakaknya disebut.

"Tadi Bibi mau nganter makanan ke kamar Den Aksara, tapi katanya Den Bumantara yang nganter. Saya disuruh kerjain yang lain," jelas Bi Mae.

Jika benar, yang dikatakan Bi Mae, maka akar masalahnya adalah Bumantara. Wajahnya berubah masam, kakaknya yang satu itu sepertinya harus diberi peringatan.

"Ya, udah. Bibi tolong masak lagi ya, buat saya sama Bang Aksa. Kalo bukan saya atau Bang Satria yang ambil makanannya jangan dikasih!" Setelah mengatakan itu, Pamungkas meninggalkan dapur.

***************

Bumantara sedang bersantai di depan televisi. Dia terlihat tenang tanpa tekanan. Tak disangka, Pamungkas dengan wajah geramnya bergegas mencabut stop-contact televisi.

"BANG TARA!!!" teriak Pamungkas.

"Lo kenapa? Dateng-dateng main cabut aja! Marah-marah nggak jelas!!!" kata Bumantara tak terima ketenangannya terusik.

"Lo sengaja kan?! Ninggalin makanan di pangkuannya Bang Aksa! Lo tau dia nggak bisa makan sendiri!!!" kata Pamungkas kesal.

"Gue udah ngajarin dia buat mandiri, dianya aja yang males!" kata Bumantara.

"Lo nggak ada otak ya, Bang?! Bang Aksa lagi sakit harusnya lo bantuin dia!!!" kata Pamungkas makin geram.

"Yang sopan lo, beraninya lo bilang gue nggak ada otak!!! Gue ini masih Abang lo, Lo harusnya menghargai gue!!!" kata Bumantara sama-sama geram.

"Lawak lo, Bang. Lo nggak ngaca!!! Lo aja nggak menghargai Bang Aksa! Bang Aksa juga masih Abang lo, Abangnya Bang Satria, Abang gue juga," sergah Pamungkas.

"Kalo lo mau dihargai, lo juga harus menghargai!!! Bang Aksa itu lagi sakit, harusnya lo bantuin dia, atau semangatin dia sebagai keluarga biar sembuh. Bukannya menelantarkan. Keterlaluan emang lo!!!" tambahnya marah sambil menendang meja dan berlalu pergi.

Percuma juga dia marah-marah, belum tentu Bumantara mendengarkannya. Paling juga masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Bukannya lebih baik jika dia fokus mengurus Aksara? Itu lebih baik untuk tensinya. Jangan sampai dia naik darah hanya karena bertengkar dengan kakak yang menurutnya tidak berotak seperti Bumantara.

***************

Di kamar, Aksara begitu sesak dadanya karena mendengar pertikaian dua adiknya. Dia bahkan menitikkan air mata.

'Mereka berantem karena gue! Gue emang cuma bisanya nyusahin doang! Gue nggak sanggup kayak gini! Gue nggak mau ngerusak keluarga gue!'

Aksara menggerutu dalam hati menyalahkan diri sendiri.

"Bang Aksa, gue masuk, ya." Pamungkas masuk kamar.

Dilihatnya, Aksara menangis...lagi...

"Bang, lo kenapa lagi? Jangan kayak gini, Bang. Gue takut...lo bikin gue khawatir," kata Pamungkas menggenggam erat tangan Aksara.

"Ja...ngan...be...ran...tem," kata Aksara.

"Lo... denger...gue sama Bang Tara berantem ya?" tanya Pamungkas mencari kebenaran dimata Aksara.

"A...bang...sa...kit...de...nger...nya...da...da...A...bang...se...sak," kata Aksara terbata.

Baginya ini terlalu menyakitkan, sudah ia diberi lumpuh, dijauhi empat saudaranya. Sekarang, ia jadi pembawa masalah karena sebab dirinya lah adik-adiknya bertengkar.

"Bang, maafin gue. Gue nggak bermaksud buat lo sakit, tapi gue nggak bisa diem aja. Bang Tara keterlaluan sama lo," kata Pamungkas menitikkan air mata.

***************

Tengah malam Aksara menggeliat ketika rasa haus melanda tenggorokannya. Dia ingin minum, di dekatnya ada Pamungkas yang tertidur pulas. Sebenarnya ada tujuh kamar untuk masing-masing tujuh bersaudara itu. Namun, sejak Aksara jatuh sakit Satria dan Pamungkas lebih sering tidur di kamar Aksara daripada di kamar mereka karena alasan menjaga Aksara.

"Pa-mung-kas." Aksara berusaha membangunkan Pamungkas agar ia bisa mengambilkan minum.

Karena Aksara begitu lemah, suaranya tak cukup keras untuk membangunkan Pamungkas. Akhirnya ia memilih untuk berusaha mengambil minuman itu sendiri. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Aksara berusaha menggeser perlahan tubuhnya mendekati nakas. Kemudian, dia mencoba untuk menuntun tangannya bergerak meraih gelas. Dia butuh sedikit dorongan, dan semakin menggeser tubuhnya ke pinggir ranjang. Tetap tangannya tak mampu menggapai gelas itu. Hingga di pergeseran terakhir, dia tak menyadari bahwa dirinya sudah benar-benar di pinggir ranjang. Berakhirlah dirinya yang kehilangan tumpuan kemudian terguling ke lantai.

***************

Padamu, Aksara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang