*Rekomendasi lagu yang cocok untuk cerpen kali ini.
----
Aku mengerjapkan mata, tersenyum. Menggoyang-goyangkan tungkai kakiku di udara kosong. Bau amis darah menyeruak di sekitarku. Darah segar merembes di lantai ruang keluarga. Membuat sekeliling tampak seakan-akan sudah 'mati'.
Ah, ya. Tapi memang benar, 'semua sudah mati'.
Aku menguap bosan, berjalan menuju piano milik Ibu. Menyentuh lembut ujung tuts-tuts putih tersebut. Yang warnanya sekarang sudah berubah menjadi merah darah menawan. Aku menghela napas sedih, memandangi piano tersebut. Berbisik pelan.
"Alangkah indahnya saat Kau masih bisa bernyanyi. Tak bisakah sekali saja Kau mainkan sebuah lagu yang indah?"aku memutari sisi lain dari piano tersebut, mendesah tak kuasa. Warnanya yang hitam mengilap kini telah berubah menjadi merah darah, menetes dari ujung ke ujung, seakan-akan menangisi kematiannya sendiri.
"Malangnya, andai saja Kau tidak menjadi sebuah piano. Mungkin saat ini Kau bisa bernyanyi dengan lebih bebas."
Aku menghela napas sekali lagi, beranjak untuk memainkan sebuah lagu yang sangat kuhapal. Lagu yang sangat indah dan menyesakkan, lagu yang bahkan Ibu tak bisa memainkannya dengan sempurna. Lacrimosa.
"Izinkan aku bernyanyi untukmu, piano," ujarku. Aku tersenyum, mulai memainkan lagu tersebut.
Jemari-jemariku kemudian bergerak dengan leluasa, menari di atas tuts-tuts berlumuran darah tersebut, membuat cairan kental berwarna merah itu terciprat ke segala arah akibat permainanku. Namun, aku tak pernah selepas ini dalam bermain. Rasanya begitu hidup. Ini benar-benar menyenangkan! Menari. Menyelesaikan bagian akhir dengan begitu sempurna, berbalik.
"Aku memainkannya dengan sangat sempurna, kan, Ibu? Ayah? Seperti yang selama ini kalian harapkan," ujarku bangga dan senang. Tidak ada yang bersuara. Aku mengerut bingung, mendekat ke tempat Ibu dan Ayah sedang tertidur.
Tubuh mereka tampak kaku dan bersimbah darah, aku mengangkat tubuh Ibu hati-hati. "Kenapa Ibu dan Ayah bersimbah darah? Lihat, baju kesukaan Ibu jadi jelek. Padahal Ayah membelikannya sebagai hadiah ulang tahun untuk, Ibu." Aku tersenyum samar, menyentuh gaun putih keperakan (yang sudah berubah merah darah) itu dengan khidmat.
Bunyi dering telephone memecah hening. Aku mendongak, bergegas mengambil telephone rumah yang tergeletak di atas meja.
"Halo, apa di sini rumah keluarga, Evans?" tanya suara berat di seberang.
"Iya, benar."
"Oh? Kau putrinya, ya? Well, bisa saya berbicara dengan, Ayahmu?"
Aku menatap Ayah yang sudah terkulai tidak bernyawa. "Maaf, tapi tidak bisa. Soalnya, Ayah sudah mati."
Klik!
Sambungan diputus secara sepihak. Aku menyeringai lebar, berlarian di sekitar darah yang berbau menjijikkan. Menendangkan kaki ke sana kemari. Darah terciprat kemana-mana, membuat bunga-bunga kemerahan yang indah di dinding. Aku tertawa, berlari menuju tangga. Menyisakan jejak kakiku di setiap anak tangga.
Angin dingin menerpa wajahku, menusuk hingga ke tulang sumsum. Aku tersenyum bergairah, menatap pemandangan yang sudah biasa kulihat dengan perasaan berbeda.
Kupikir kematian itu begitu menyesakkan. Tetapi, aku tak menyangka bahwa 'rasa' kematian itu begitu menyenangkan, begitu indah dan menggairahkan. Ternyata ketakutanku akan kematian hanyalah sebagai alasan untuk menutupi keindahan perasaan ini.
Aah ... untuk apa takut akan kematian, jika aku adalah kematian itu sendiri. Jadi karena itu ... mari berlari dalam kematian bersamaku. Kematian yang bahkan hanya takut kepadaku.
~
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan cara vote serta comment!
CIAO

KAMU SEDANG MEMBACA
REQUIEM : Kumpulan Cerpen Misteri
Misterio / SuspensoBerisi kumpulan cerpen-cerpen menarik yang akan membuat kalian penasaran. Sst... banyak diisi dengan tema misteri lhoo... --- SINOPSIS Thomas dan Lily menemukan sebuah buku yang berisi kumpulan cerpen. Mereka mulai membaca kisah-kisah menakjubkan di...