2 ~ Eddie

276 17 1
                                    

Sudah beberapa hari ini aku menikmati suasana ramainya Kota Surabaya. Tampak, pengamen sedang menyanyikan lagunya di depan sebuah warung, mobil dan motor sedang berlalu lintas dengan "tertib", diikuti para polisi cepek yang sedang menerima koin dari para pengemudi. Jika dilihat-lihat dengan saksama, Kota Surabaya tak banyak berubah. Jalan, bangunan, lampu-lampu kota.... mengingatkanku akan seseorang yang sudah sangat lama terkubur dalam memoriku. Tania.

***

Setelah berlama-lama menikmati pemandangan kota Surabaya pada sore hari menjelang malam, aku memutuskan untuk membuka handphone-ku. Sampai tak sengaja aku menekan tombol call di kontak seseorang. Munculah nama orang tersebut, 'Tania'. Dengan cepat aku menekan tombol end call. 'Tania pasti sudah melihat layar handphone-nya,' desahku pelan. Dan yang kulakukan sekarang ini hanyalah menjadi seorang pengecut. Mundur dan menyerah. Menggantungkan semua memori dan hanya bisa menguburnya dalam-dalam. 'Ah, sebaiknya aku tidur saja,' ucapku sambil berjalan menuju tempat tidur.

***

Matahari sudah menunjukkan senyum terbaiknya. Aku segera bangun dan berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Semalam tidurku tak senyenyak biasanya, aku mendapatkan mimpi yang teramat buruk. Mimpi yang mengingatkanku akan kesalahan yang telah kuperbuat kepada dirinya, yang membuat semuanya hancur. Membuatku ingin kembali dan memperbaiki kesalahan terbesarku. Seandainya saja, aku tidak menerima ajakan salah satu temanku untuk makan malam pada hari itu... mungkin semuanya tidak harus serumit ini. Terjebak dalam memori dan pikiranku sendiri, tak bisa keluar, maupun mengembalikan apa yang sudah kurusak. Ah, kejadian itu sudah lama sekali, mengapa aku harus berpikir seperti ini? Mungkin Tania sudah melupakanku, dia saja tidak meneleponku balik. Tapi, mengapa aku yang menjadi seperti ini? Sejak hari pertama aku sampai di Surabaya, hatiku terasa seakan-akan hidup kembali. Apakah memang aku ditakdirkan untuk menjumpai masa laluku lagi, Tania?

***

"Jeremy? kau di mana? aku sudah menunggu selama 45 menit." ucapku kesal sambil menggengam telepon. "Maaf Eddie, barusan ada urusan mendadak, 5 menit lagi aku sampai." jawab suara seberang. Aku pun segera menutup teleponnya dan melihat ke arah jam tangannya. Jeremy adalah teman kolegaku. Kami sepakat untuk bertemu di salah satu kedai kopi dekat kantor untuk membahas rencana pembangunan gedung baru. Jeremy adalah seorang arsitek sedangkan aku bekerja sebagai kontraktor. Kami bekerja di satu perusahaan, namun berbeda divisi. Jeremy adalah orang yang sangat easy-going dan mempunyai banyak kolega, dia adalah orang yang cukup dikenal di perusahaan kami. Mata Jeremy bewarna coklat dan bulat. Wajahnya berbentuk lonjong. Postur tubuhnya tinggi dan tegap. Dengan penampilan yang cukup oke untuk pria berusia 26 tahun, tak heran banyak wanita yang meliriknya. 

Pintu kedai kopi pun terbuka, dan aku segera menengok, ternyata itu Jeremy. 

"Hai Ed, maaf sudah membuatmu menunggu terlalu lama," kata Jeremy sambil memanggil waiter untuk membawakan buku menu.

"Tak perlu memanggil waiter, aku sudah memesankan makananmu. Beef Fettucine kan?" tanyaku santai.

"Bagaimana kau tahu makanan yang kuinginkan?" tanyanya balik sambil tersenyum puas.

"Tidak penting, mari kita membahas hal yang sudah kita rencanakan."

1 jam setengah kami lalui untuk membahas proposal yang sudah kami buat. Apakah cocok untuk ditunjukkan kepada Direktur atau tidak, dan menyempurnakan proposal ini untuk ke depannya.

"Akhirnya... beres juga!" kata Jeremy bersemangat lalu bangkit dari kursinya.

"Jangan lupa memberikannya kepada Direktur," ucapku sambil berjalan ke arah pintu keluar.

Jeremy hanya mengangguk dan tetap menyeruput cafe latte-nya.

***

Sorenya, aku memutuskan berjalan-jalan keliling kompleks. Udara terasa sejuk dan kering. Berbeda dengan biasanya. Namun, dari kejauhan, tampaklah seorang wanita berambut hitam dan panjang memakai kaos bewarna merah muda serta celana pendek putih. Karena tertarik, aku pun berjalan mendekat. Betapa kagetnya aku saat mengetahui bahwa wanita itu adalah Tania. Matanya yang bewarna coklat tua, alisnya yang tebal, serta wajahnya yang bulat. Postur tubuhnya pun masih sama, tinggi untuk ukuran wanita sebayanya dan kaki yang cukup jenjang. Kebiasaan yang ia lakukan pun masih sama, berlari pada sore hari.

Tanpa ragu, aku langsung membelokkan arah kakiku untuk kembali ke arah jalan pulang. Aku belum siap untuk menemuinya. Belum siap untuk menerima fakta bahwa Tania sudah kembali ke tanah air dan ke kota tempat di mana itu semua berawal dan berakhir. Di mana semua itu muncul dan hilang seperti asap.

Tania, Tania... mengapa kau harus kembali sekarang?







Author's note:

Hai guys! Thank you yah yang udah mau ngikutin cerita ini sampe chapter 2. Aku tau aku buat kalian kepo terus #GR #abaikan, pokoknya kalo kalian masih tetep penasaran, keep reading aja. Untuk next chapter aku nggak bisa post cepet2 karena beberapa considerations, aku juga harus menuhin goals ku sebagai author hehe. Jadi, kalo kalian mau cerita ini cepet updatenya, kalian promote cerita ini, kalian kan baik #merayuu. Anyway, maaf kalo ada beberapa typo, belum aku baca ulang soalnya. Kalo ada kritik dan saran bisa langsung messages atau tulis di komen yahh. Sekali lagi, thank you! :)

Secangkir Teh dan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang