Sambil menyesap cafe latte-ku, aku melihat Eddie berjalan menuju kejauhan. Perawakannya masih sama, tinggi badan sekitar 168cm, mata sayu, serta mukanya yang lonjong. Senyumnya pun masih sama, manis namun terlihat lesu. Sudah lebih dari satu tahun aku mengenal Eddie, namun tak sekali pun ia pernah menceritakan tentang dirinya. Entah apa yang menahannya, tapi kurasa ada sesuatu dari masa lalunya yang ingin ia sembunyikan. 'Ah sudahlah, sebaiknya aku pulang.' gumamku sambil menghabiskan minumanku. Aku pun langsung membayar ke kasir, lalu berjalan keluar menuju keramaian kota pada malam hari.
***
Sesampainya di kamar apartemenku, aku langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. 'Besok pasti menjadi hari yang sangat melelahkan', kataku dalam hati. Selain besok ada rapat mengenai proyek pembangunan gedung baru, Pak Direktur juga meminta untuk bertemu denganku. Biasanya, aku langsung panik dan tak bisa tidur semalaman. Namun, hari ini aku merasa tenang dan damai. Tak ada perasaan takut atau aneh yang mengusikku.
Tak lama kemudian, ada pesan masuk.
"Kutunggu kau di lobby sekarang. Penting. - Charlotte."
Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan menuju lift dan menekan tombol 1.
***
Lobby tampak begitu sepi. Hanya ada penjaga frontdesk dan seorang satpam. Tidak ada seorang pun di sana kecuali mereka. Aku pun segera menelepon Charlotte. Tiga kali nada sambung lalu terdengar suara orang di seberang sana.
"Charlotte, kau di mana?" tanyaku tak sabar.
"Changed plan, temui aku di toko roti seberang apartemenmu."
Dengan kesal aku menutup telepon. Sambil setengah berlari aku berjalan menuju Ferroni Bakery Shop.
"Hey Charlotte, ada apa?" tanyaku terengah-engah.
"Maaf, mengganggu. Tapi hanya kau yang bisa membantuku, Jer. Jadi begini, aku diminta oleh bossku untuk membuat kesepakatan dengan perusahaanmu mengenai kerja sama pembangunan perluasan perusahaan. Jika tidak berhasil, aku akan dipecat." jawabnya dengan muka kusut.
Charlotte adalah teman SMA-ku. Sudah lama kami tidak mengontak satu sama lain sejak ia bersekolah di Rusia. Namun, akhir-akhir ini sejak ia kembali ke Indonesia, ia kembali mengontak teman-teman SMA-nya, termasuk diriku.
"Tenang Charlotte, aku akan membantumu sebisaku. Berapa tenggat waktu yang diberi oleh bossmu?"
"Sekitar satu hingga dua bulan." ucapnya lirih.
"Oh oke, aku akan mengenalkanmu pada salah satu kolegaku yang merupakan tangan kanan direktur perusahaanku. Kira-kira tiga minggu lagi aku akan mengontakmu." kataku sambil melihat-lihat roti yang dipajang di elastase.
"Terima kasih banyak,"
Charlotte pun segera berpamitan dan meninggalkan toko roti. Aku pun memesan satu kotak roti dan berjalan menuju ke arah apartemenku.
***
"Pagi Eddie," sapaku ketika melihat Eddie sedang duduk di meja kerjanya.
"Pagi." balasnya singkat, tak berpaling dari tempatnya sama sekali.
Aku pun segera menuju meja kerjaku dan melanjutkan gambar bangunan yang sudah kurancang sebulan sebelumnya. Gambar bangunan yang kubuat ini adalah rancangan gedung perusahaan ini di masa depan. Lantai pertama merupakan lobby yang terdiri dari beberapa bagian termasuk ruang rekreasi bagi para pekerja jika mereka merasa jenuh. Lantai ke-2 diisi oleh ruang-ruang masing-masing divisi. Mulai dari divisi akutansi, marketing, public relation, general affair, hingga development department. Dan di development department lah aku dan Eddie ditempatkan. Tugas kami adalah memandang perkembangan perusahaan serta membangun bangunan yang baru bila perlu. Seperti yang kami lakukan sekarang. Lantai ke-3 dibuat khusus untuk menyambut tamu-tamu penting dari berbagai perusahaan. Maka dari itu, lantai ke-3 dirancang sedimikian rupa sehingga mirip lounge hotel bintang lima.
"Jeremy, tolong cetak dokumen-dokumen ini," pinta Eddie sambil menyerahkan beberapa lembar kertas.
"Panggil aku Jerry,"
Dia hanya tersenyum. Segera kucetak berkas-berkas yang diberi olehnya. Sambil menunggu, aku melihat-lihat kalender di sebelahku. Tampak lingkaran-lingkaran di beberapa tanggal. Dan ada beberapa catatan kecil pula. Ada satu yang menarik. Tertulis: "Meeting with Pak Direktur and the guys" Setelah membaca tulisan itu, aku kaget dan menelan ludah. "Hari ini ada rapat ya?" tanyaku pada Eddie. Eddie hanya mengangguk, menandakan iya. Lalu, aku baru teringat bahwa memang benar ada rapat hari ini dan aku harus menemui Pak Direktur seorang diri setelah rapat berlalu. Aku segera bangkit dari tempat dudukku dan berjalan menuju coffee machine serta menuang segelas kopi dan meminumnya telak-telak.
***
"Jeremy, ke sini sebentar," panggil Pak Direktur seraya melambaikan tangannya ke arahku.
Jantungku berdegup kencang. Tanganku basah. Keringat mengucur dari pelipisku. 'Seharusnya kan kami bertemu setelah rapat.' desisku pelan.
"Iya Pak, tunggu sebentar," jawabku sambil tersenyum-dengan paksa.
Aku segera berjalan menuju kamar kecil dan mencuci mukaku. Kulihat mukaku di depan kaca, lekat-lekat. Sampai Eddie muncul.
"Kau jangan khawatir, Pak Direktur mungkin mau menaikkan jabatanmu," ucapnya sambil menyikut lenganku dengan lengannya.
"Ah kau bisa saja," kataku tertawa kecil.
Sambil memegang lenganku dan menunjuk ke arah pintu keluar, dia berkata, "Go!"
Aku pun menuruti perkataannya dan berjalan menuju ke ruangan Pak Direktur.
***
"Selamat pagi Jeremy." Pak Direktur tersenyum tipis. Aku membalasnya dan segera duduk di kursi yang disediakan oleh beliau.
"Kau jangan takut, tujuanku memanggilmu kemari adalah mengenai teman SMA-mu itu, Charlotte."
"Ada apa dengannya? Bagaimana Bapak bisa tahu tentangnya?" tanyaku penasaran.
"Kemarin atasannya meneleponku, beliau ingin menguji kelayakan kinerja Charlotte di perusahaan. Beliau meminta kerja samaku agar membuat Charlotte lolos dengan jerih payahnya sendiri. Dengar-dengar, ia meminta tolong padamu ya?"
Aku mengangguk, beliau meneruskan. "Kau boleh bantu, tapi hanya sampai mengenalkannya pada Eddie ya. Jangan lebih dari itu. Kalau tidak, kau yang kupecat." ucapnya sambil sedikit tertawa di akhir kalimat.
"Ah, Pak, kupikir ada sesuatu buruk yang telah kulakukan pada perusahaan."
"Tidak Jeremy, jangan selalu berpikiran negatif terhadap segala hal. Sudah, kembalilah bekerja."
Aku tersenyum malu serta beranjak dan meninggalkan ruangan Pak Direktur.
***
Author's note:
Hello guys! Ini dia chapter 3. Sorry kalau banyak percakapan dan agak boring untuk yang kali ini. Tapi percaya deh, chapter-chapter selanjutnya bakalan worth the wait kok! hehe. Makasih banyak buat yang udah ikutin ceritaku sampe chapter ini. Semoga kalian bakalan ngikutin cerita ini sampe akhir. Jangan lupa commentnya! Have a nice day! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Teh dan Kopi
عاطفيةTania, bak secangkir teh yang tengah diombang-ambing oleh sang penyeduh, merasakan kehangatan si penyeduh itu sendiri, namun tak bisa mengungkapkannya. Jeremy, pecinta kopi, namun perangai yang ditunjukannya berlawanan dengan kopi itu sendiri. Jerem...