bab 7

21 4 0
                                    

Kian Santang mengamuk, tubuhnya berputar-putar seperti pusaran badai, menebas bayangan-bayangan yang mengepungnya. Setiap serangannya dipenuhi amarah yang membara, dendam yang menggerogoti jiwanya.

"KELUAR KAU SIALAN!!! KENAPA KALIAN MENGANGGUKU, KARNA ULAH KALIAN SEMUA BIBIKU SEKARAT!" Raungan Kian Santang menggema, menggetarkan udara, menghantam dinding-dinding istana, tetapi hanya disambut oleh keheningan yang mencekam.

"SIALAN!"

Kian Santang mencakar tanah, matanya melotot, penuh amarah yang membara. Ia mengayunkan pedangnya dengan liar, menghancurkan apa saja yang menghalangi. Bayangan-bayangan itu menghindar, menari-nari di sekelilingnya, seakan mengejeknya.

"Aku benci semuanya! Kalian sudah menghancurkan diriku, maupun menghancurkan keluargaku dengan ragaku! Licik kalian!"

Kian Santang meringkuk, tubuhnya gemetar, air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan keringat dan debu.  Rasa sakit yang menusuk jantungnya, menghancurkan jiwanya. Ia ingin menghancurkan semuanya, menghancurkan dunia ini, menghancurkan dirinya sendiri.

"Kenapa? Kenapa harus bibiku? Kenapa harus dia? Bisakah kalian melukaiku jangan bibiku?"

Kian Santang mencengkeram dadanya, napasnya tersengal-sengal. Ia merasa dirinya hancur, tercabik-cabik, tak berdaya.

"KAU AKAN MATI KIAN SANTANG, KAU AKAN MATI!" Tawa jahat bergema di telinganya.

"MATIKANKU SEKARANG JUGA BERDEBAH! AKU SIAP SEKARANG JUGA!"

Kian Santang meraung, menyerang dengan amarah yang membabi buta. Namun, sebuah kekuatan tak terlihat menghantamnya, menjatuhkannya ke tanah.

"Akhhh!" Kian Santang meringkuk kesakitan, tubuhnya terasa remuk, tulang-tulangnya patah.

"AHAHA, Mati atau menyerah padaku?"

Bayangan itu mendekat, pedangnya terhunus, mengarah ke leher Kian Santang.

"Selagi aku bisa memberikan perlawanan, mengapa harus menyerah padamu?"

Kian Santang menatap tajam ke arah bayangan itu. Matanya berbinar-binar, dipenuhi tekad yang membara. Ia melihat topeng yang dikenalnya, topeng legendaris yang dikenakan pendekar golongan putih.

"J-jangan..."

Bayangan itu tersentak, menarik pedangnya.

"BERDEBAH kau Kian Santang!"

Kian Santang bangkit, tubuhnya gemetar, napasnya tersengal-sengal. Ia berjalan perlahan, menarik napas dalam-dalam.

"Aku tidak akan menyerah!"

Kian Santang meraih topeng itu, memakainya.

"Aku akan membalas dendam padamu! Aku pastikan kau tidak akan menggangguku sekali lagi! AKU PASTIKAN ITU!" Kian Santang menghunuskan pedangnya ke bayangan itu hingga ia hilang.

Senyap.

Ia berjalan perlahan menuju pohon di dekatnya, rasa sakit yang luar biasa menjalar pada organnya. Ia sakit tapi tak berani memasuki istana, ia memilih pada surai yang berada di kota raja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 8 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Misteri Of Raden Kian SantangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang