Berita buruk

80 6 1
                                    

Gita terlihat melamun sendu di teras belakang rumahnya. Hal yang jarang terjadi karena itu spot ngepodsku. Aku yang baru saja datang segera menghampirinya.

"Ngapain yang?" Tanya ku mengelus rambut panjangnya.

"Eh, baru pulang? Kok aku gak denger mas masuk?" Tanya Gita gelagapan.

"Apa sih yang ngeganggu kamu? Yang kemarin ta?" Kataku menahannya yang akan beranjak dengan memeluk dirinya.

Flashback

"Jadi gitu, sori to say posisinya memang tidak normal, tapi gak ada yang gak mungkin, kalo dari gue mah, mau coba apapun gak ada salahnya kok," kata Ara sahabat gue yang seorang spesialis obgyn konsultan fertilitas.

"Oke thanks ya ra," kataku pamit dan mengajak Gita yang tampak melamun sekarang.

Sesampainya di mobil tangis Gita meledak begitu saja. Aku membiarkannya menghabiskan air matanya dulu.

Saat dia mulai tenang baru aku mengecup keningnya, dan mengelus lembut rambutnya.

"Gak usah dipikirin, kan Ara tadi dah bilang bukan gak mungkin, tapi memang lebih sulit, kita bukan Tuhan, ara bukan Tuhan, kita gak akan tau," kataku kali ini mendekapnya.

Dalam perjalanan Gita hanya diam. Kadang masih terlihat airmatanya menetes namun segera dihapusnya.

End Flashback

"Mas maaf ya kalau ternyata aku begini," kata Gita masih menerawang.

"Hus, kamu gak salah apa-apa, masa mau nyalahin Tuhan, dosa, udah sholat maghrib belom?" Tanyaku lagi. Gita hanya menggeleng.

"Sholat yuk, kita berdoa sama Allah, minta diberi kemudahan jalan," kataku mengecup Gita sebelum menggandengnya menuju kamar.

Beberapa hari berselang Gita mulai bisa sedikit melupakan kondisinya. Dirinya mulai kembali aktif bersosmed dan menuliskan cerita yang menurutku lebih seperti diary nya.

Sore itu aku bisa pulang lebih cepat karena operasiku dibatalkan karena pasienku batu pilek, sehingga lebih berrisiko jika dilakukan pembiusan. Aku bisa pulang lebih cepat.

Sesampainya di rumah kudapati sepi, tampak seperti tidak ada orang. Ku cek hp ku takut Gita mengabari, namun nihil. Tidak ada kabar apapun dari Gita.
Aku mencoba membuka kunci rumah dengan kunci ku namun tidak bisa.

Tiba-tiba pintu terbuka sedikit, ku lihat ada yang mengintip, kemudian menarikku masuk segera dan kembali menguncinya.

Ternyata Gita, ku lihat wajahnya yang sedikit ketakutan, di ruangan rumah yang ditutup semua pintu dan jendela bahkan lampu pun di matikan.

"Ini kenapa yang? Kok ketutup semua? Gak pengap?" Tanyaku membuka penutup hoodie istriku.

"Takut," tiba-tiba Gita memelukku.

"Bentar-bentar, kenapa nih?" Tanyaku bingung karena Gita terus nangis dipelukanku. Gita hanya menunjuk batu yang terbungkus kertas yang ada di meja ruang tamu.

Aku membukanya, tulisan dengan tinta merah bertuliskan "KAU PIKIR AKU AKAN MENGHILANG GITA".

"TAKUUUTTT," Kali ini lebih ke merengek dari pada nangis.

"Ini kapan, kamu dapet dimana?" Kataku memundurkan Gita dan mendudukannya di sofa ruang tamu.

"Tadi sekitar setengah jam lalu aku denger bunyi pintu digebuk, waktu ku buka aku liat batu itu, takut!!!" Kata Gita menahan nangis.

Aku segera keluar rumah dan mengecek sekitar rumah. Tidak ada apapun yang kutemukan. Oh shit susahnya punya istri idol ya gini.

Akhirnya kuputuskan melaporkan kepada satpam perumahan kejadian ini. Gita tidak mau ku tinggal, akhirnya untuk sementara Gita ku pulangkan kerumah orang tuanya agar tenang.

Seminggu kemudian aku mendapat laporan dari satpam mereka menahan orang mencurigakan yang terpantau mengintai rumahku. Setelahnya segera ku proses ke kepolisian.

Kupikir Gita akan lebih tenang saat ku kirim kembali ke rumahnya. Ternyata dia kembali kepikiran masalah kandungannya karena ibu bulak balik menanyakan masalah kehamilan.

"Ya terus kamu maunya gimana?" Tanyaku mulai kesal dengan Gita.

"Ya apa kek mas, aku juga mulai males ditanya gitu," balas Gita cemberut.

"Mau ke Ara lagi? Ngikut saran Ara? Insem atau apa? Mau langsung bayi tabung?" Tanyaku sudah terlampau kesal.

"Ya apa ajalah! Kamu mau nikah lagi juga terserah," Gita malah juga ikut emosi.

"Astagfirullah! Sayang ah!" Aku akhirnya sadar udah terlalu emosi. Gita mulai menitikan air matanya.

"Aku ngerasa kecewa mas, ngecewain kamu, orang tua kita, aku kecewa sama diriku sendiri mas," tangis Gita makin kenceng.

"No no no, jangan ngomong gitu, aku gak suka dengernya, aku udah bahagia-bahagia aja ma kamu, kalau takdir Allah jalannya kita disuruh berdua aja ya udah, kenapa juga harus ngelawan takdir Allah," kataku memeluk Gita erat membiarkan airmatanya keluar dulu.

"Gak ada pernikahan yang gak mau dihiasi keturunan mas, gak ada orang tua yang mau liat anaknya begini mas,"kata Gita.

"Udah ah, dah malem, yuk istirahat aja, besok kita pulang kerumah kita aja,"kataku mengajak Gita berbaring di tempat tidur.

Kupeluk istriku yang makin stress itu dari belakang. Mendekapnya erat biar dia tau betapa sekarang aku mencintainya. Bukan lagi sekedar perjodohan tapi cinta tulus berkat kasih sayang yang di berikan.

Di minggu subuh itu aku bangun lebih dulu dari Gita. Semalam memang cukup lama waktu dia yang butuhkan untuk dapat tidur dengan tenang, jadi kubiarkan dulu dirinya tidur. Kebetulan dirinya sedang tidak sholat.

Selesai sholat subuh aku menuju ruang keluarga. Disana kudapati ibu yang sudah bangun dan baru selesai mengaji.

"Pagi bu, Assalamualaikum," sapaku membuat ibu menoleh.

"Waalikumsalam, eh kamu Ram," kata ibu tersenyum melihatku menghampirinya.

"Gita gimana? Maaf ya semalem ibu gak sengaja denger kalian berantem," kata ibu padaku.

"Ehm, udah lebih tenang sih bu, tapi masih istirahat," kataku kaget mendengar ibu tau kami tadi malam bertengkar.

"Hmm, maafin Gita ya nak, maafin Gita sekarang malah jadi bebanmu, ayah sama ibu udah bicara juga kami ikhlas sama apapun keputusan kamu," kata ibu lagi sedikit tertunduk.

"Ibu apa sih, gak ada yang jadi beban, gak ada yang perlu dimintain maaf, Rama sayang Gita apapun kondisinya, kenapa jadi ngeributin itu semua sih? Udah ah gak usah dibahas, Jangan pad cemberut gak enak," kataku merangkul mertuaku yang mulai meneteskan air mata.

Bayangin gak kalian, aku yang sebenernya juga sakit atas info ini, harus bisa bertahan buat keluargaku. Yang ada dipikiranku saat ini bukan bagaimana punya anak, tapi bagaimana mental istriku lebih stabil.

Married life is not easy bro. Pernikahan bukan sekedar enak-enak hamil punya anak dan menafkahi, tapi bergumul menyatukan dua kepala demi satu tujuan. Gak cuman dealing dengan masa lalu tapi juga bargaining dengan masa depan.

Rumah bertanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang