Menjalani takdir Tuhan 2

43 5 0
                                    

Siang itu saat aku masih operasi Gita menelponku, mengatakan dirinya perdaraha. Untungnya operasiku segera selesai. Namun karena Gita panik akhirnya dirinya segera ke klinik Ara dan memintaku menemuinya disana saja.

Sesampainya disana Gita masih berbaring diruang periksa, sementara diriku langsung dipanggil Ara.

"Ya itu sebenernya gak bisa dianggap ke guguran sih, karena memang belom menjadi janin, kalo di medis ya kita anggepnya jadi mestrual cycle biasa," jelas Ara.

"Hmm berarti gagal ya ra," kataku lagi agak lesu.

"Ya something like that, sori ya, gini deh kalo mau coba lagi atau evaluasi lagi, nanti H+2 selesai mens, kontrol kesini aja, tar gue evaluasi ulang," kata Ara mencoba menenangkan kekhawatiranku.

"Oke ra, makasih ya," kataku kemudian beranjak pergi dari ruangan Ara kembali keruangan Gita.

Sepanjang jalan menuju ruang Gita aku berfikir bagaimana menyampaikannya. Jelas Gita pasti jadi stress dan terpukul.

"Gimana mas?" Ucap Gita ketika melihatku memasuki ruangan.

"Hmm, aku gak mau kepikiran ya abis ku jelasin," kataku mendekat kepadanya. Gita mulai menyiapkan mentalnya.

"Jadi darah yang keluar yah darah haid, bukan keguguran," kataku. Gita menarik nafas panjang menahan tangisnya.

"Udah ya gak usah stres, kita coba lagi nanti, Ara bilang selesai halangan tar kontrol lagi biar bisa dievaluasi," kataku memeluk Gita dan mengusap punggungnya. Terdengar pelan suara tangisan Gita yang mulai terdengar.

"Mas aku mau pulang," kata Gita pelan tidak mau melepas pelukannya.

"Iya, yuk pulang," kataku mengajaknya pulang.

Sesampainya dirumah Gita hanya banyak diam dan memilih tidur setelah dirinya bersih-bersih dan berganti baju tidur.

Aku memilih turun untuk ngopi dan ngepods di tempat ku biasa melakukannya. Langit malam sendu dengan bulan yang tertutup awan. Sendunya malam ini sesendu perasaanku saat ini.

Entah kenapa aku lebih memikirkan mental istriku daripada sibuk mikir punya anak. Saat ini aku lebih memilih tidak punya anak daripada istriku tidak seceria dulu.

*****************

Sudah seminggu sejak kami dinyatakan gagal dalam inseminasi buatan. Sudah selama itu pula kondisi Gita naik turun. Gita berulang kali tidak mau makan atau hanya makan sedikit.

Berulang kali bahkan ku ajak ke rumah sakit baik untuk mengurangi dehidrasinya ataupun ke psikiatri namun dirinya tetap menolak.

Dua hari terakhir ini mama ku minta menemani kami dirumah. Selain membantu merawat Gita, juga menjaga Gita tetap ada temannya saat aku harus ke RS.

Disaat aku akan beranjak pulang mama menelpon mengabarkan Gita rewel mencari aku dari tadi minta aku pulang. Akhirnya ku percepat perjalananku agar segera sampai rumah.

"Gitanya dimana ma?" Tanyaku pada mama yang membukakanku pintu.

"Dikamar, Ram, mama pulang bentar ya, papa mu nyari mau berangkat keluar kota," kata mama yang tampak sudah siap pulang.

"Iya ma gak papa, mulai besok Rama kosong kok jadwalnya, tinggal aja, makasih ma," kataku. Mama pulang dengan supir yang sudah menjemput sedari tadi.

Aku berlari ke kamarku. Dari depan kamar terdengar isak tangis istriku. Aku membuka pintu pelan agar dirinya tidak kaget. Gita masih tebaring di ranjang. Wajahnya mulai tampak tirus begitu pula badannya.

"Sayang, ini mas," kataku mengelus rambut halusnya.

"Mas, jangan tinggalin aku," kata Gita menarikku dalam pelukannya.

Rumah bertanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang