Menjalani takdir Tuhan

58 6 0
                                    

Gita terlihat masih lesu sendu tidak bersemangat. Kami saat ini sudah berada dirumah. Aku tidak mau memaksakan Gita. Semua cara sudah ku coba untuk merayunya, namun dirinya seperti tidak semangat merespon.

"Jujur ya mas bingung sekarang harus apa, mas juga sedih kalo kamu begini," kataku akhirnya gak bisa menahan lebih lama.

"Ah mas, maaf mas," kata Gita tersadar bahwa dari tadi aku memperhatikan dirinya yang melamun.

"Gak usah minta maaf, aku cuman minta kamu berenti nyakitin diri kamu sendiri," aku merasa diriku terlampau kesal saat ini, aku memutuskan pergi meninggalkan rumah.

Gita hanya terbengong saat melihatku pergi tanpa pamit meninggalkan rumah. Aku pergi tanpa tau arah mau kemana. Akhirnya aku memutuskan ke rumah sakit, sekedar mencari ketenangan.

Kulihat hpku, terlihat Gita menelpon ku beberapa kali. Aku merasa terlalu kesal, aku hanya membalas dengan chat, "mas keluar sebentar, sori mohon maaf, biar gak marah-marah sama kamu,".

Aku naik ke rooftop sekedar mencari angin. Aku sambil ngepods, karena menurutku walau hanya pembenaran, ngepods membuatku relax.

"Ngapain lu bang?" Tanya Rio adek sepupuku yang seorang dokter IGD disana.

"Eh yo, jaga lu? Aman?" Tanya ku lagi pada Rio yang menghampiriku.

"Iye lagi jaga, istirahat bentar gantian, lu suka kesini bang?" Tanya Rio menyalakan rokoknya.

"Iya, dari jaman dokter IGD, suasananya enak ae," kataku. Kami duduk di balik papan nama RS tersebut.

"Lu kayak banyak masalah, napa lu?" Tanya Rio.

"Gak papa, biasa namanya juga pernikahan," jawabku singkat.

"Nikah ribet yak," kata Rio terkekeh.

"Haha sebenernya tergantung gimana lu jalaninnya aja sih bro, ma gimana lu toleransi ma pasangan lu aja," kataku sok menasehati adek sepupuku ini.

"Lu ma kak Gits sendiri gimana? Kemarin gue denger nyokap gosip ma tante, beneran kak Gits susah hamil?" Tanya Rio penasaran.

"Gue bukan mau ikut campur bang, nanya doang," kata Rio karena ekspresiku berubah.

"Gak, gak, santai, posisi uterusnya nekuk dan kebelakang, jadi susah buat dibuahi, gue lupa nama istilahnya," kataku menjelaskan.

"Terus sarannya kak Ara apa?" Tanya Rio.

"Ya, kalo Ara bilang sih kalo mau boleh insem atau program bayi tabung, tapi kalo mau nyoba tanpa itu juga gak masalah kalo mau," kataku menjelaskan.

Tiba-tiba hpnya Rio bunyi. Dia segera pamit karena di cari IGD. Aku kembali menikmati masa sendirianku di rooftop.

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Cukup kaget ternyata Gita tertidur di sofa. Sepertinya karena menungguku. Akhirnya kuputuskan menggendongnya ke kamar saja.

"Eh, mas," ucapnya terbangun saat aku meletakkannya di kasur.

"Dah istirahat ya sayang," kataku mengecup keningnya dan berbaring disebelahnya.

"Maaf," ucap Gita lirih. Aku hanya diam tak membalas membalik badanku memunggunginya.

Sinar matahari masuk menyeruak disela gorden kamarku, membuat ku terbangun. Aku berusaha melihat jam, jarum pendeknya sudah di angka 7.

"Kok tumben Gita gak bangunin ya?" Batin ku menoleh sekelilingku yang tidak menampakan istriku.

Aku duduk sebentar di ujung tempat tidur ku. Melamun, memikirkan apa yang aku mau lakukan. Bukan sekedar kegiatan harian, tapi bagaimana menghadapi Gita hari ini. Sudah lelah ribut masalah anak.

Rumah bertanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang