• Perkara Ketos

513 52 44
                                    

Halilintar yang sedang melintir leher Taufan menjadi pemandangan pertama bagi Gempa tatkala membuka pintu kamar. Gempa tidak tahu harus memasang air muka seperti apa lagi. Hal itu sudah biasa. Akhirnya, Gempa memilih bergerak menuju kasurnya yang berada di tengah-tengah dua kasur lain dan meletakkan tasnya di atas meja belajar. "Kak Upan buat masalah apa lagi?"

"Bilangin sama kakakmu, Gem, mikir dulu kalo mau ngapa-ngapain." Ini kalimat terakhir Halilintar sebelum membanting pintu dan keluar kamar dalam keadaan kesal.

Gempa melirik ke arah sang kakak kedua—yang ternyata masih ketawa tanpa suara dengan kepala terendam kasur—menunggu jawaban dari pertanyaannya yang masih mengambang. Seketika raut datar terpasang di wajah bulat Gempa. Padahal ada sesuatu hal yang ingin sekali dia sampaikan pada kedua saudaranya, tetapi yang satu sudah ngacir dulu sisanya tidak jelas.

"Pff- tadi ... tadi aku mau benerin lampu kamar mandi yang mati 'kan, aku ganti lampu baru, lampu yang lama aku lempar ke pojok tembok. Padahal Hali udah sempat negur buat jangan ngelakuin itu, tapi telat." Taufan kembali tertawa. "Yaudah, deh, meledak. Si Hali kaget sampe kepalanya kejedot pintu. Jendul dikit kayaknya, sih." Begitu penjelasan Taufan yang diakhiri ketawa ngik-ngik.

Walaupun ada rasa khawatir yang Gempa rasakan pada kakak sulung, Gempa tetap tertawa. Heran banget dengan kelakuan Taufan. Pantas saja Halilintar sering emosi. "Terus lampu yang pecah gimana? Udah dibersihin?"

"Beres!" Taufan mengangkat jempol kanannya.

"Kak Upan!"

Taufan menoleh dan kaget memandang Gempa yang juga melihat kearah dirinya dengan senyum lebar sampai matanya membentuk lengkungan. Dahi Taufan mengerut, perasaannya mengatakan akan ada suatu hal yang tidak enak.

"Gempa ada kabar baik sedunia!"

Senyuman terbit di bibir Taufan. Gempa jika sudah memanggil diri sendiri dengan namanya, itu bertanda dia memang lagi senang banget. "Kabar apa tuh?" tanya Taufan antusias.

Gempa mulai berbisik.

"APAAAAA?!"

•••

"Kampret."

Baru saja memulai untuk mengobati luka di keningnya yang benjol, Halilintar tidak tahan untuk tidak mengumpat karena luka itu harus merasakan tekanan dalam nan kuat oleh tangannya sendiri setelah mendengar teriakan Taufan yang menggelegar. Entah ada kejadian apalagi hingga langkah kaki Halilintar membawanya kembali ke kamar.

"Berisik tau, nggak?" Halilintar sampai di kamar.

"Tanya aja, noh, sama adek bontot lo." Memang tidak ada campur emosi dari suara Taufan. Namun, nadanya yang datar, Halilintar mengerti, adik pertamanya sedang menahan kesal. Manik merah Halilintar melirik ke si bungsu—meminta penjelasan.

Di atas kasur, Gempa yang sedang duduk bersila dengan anteng menoleh ke Halilintar. Dia berdiri dan mulai berbicara sambil tersenyum malu. "Bang Hali ... Gempa terpilih jadi ketua OSIS," ujarnya diakhiri garukan rambut yang tidak gatal.

"Hah?"

Jari-jari tangan Halilintar meremas kuat. Dia meraih tubuh Gempa dengan kuat tetapi lembut dan mengangkatnya dari lantai. Memutar tubuh Gempa ke arah kasur, dan dalam gerakan lambat, Halilintar menurunkan Gempa ke atas kasur dengan tangan kanannya. Tubuh Gempa memantul di atas kasur empuk.

Untuk yang kedua kalinya, Gempa dicampakkan alias dibanting—yang pertama dari Taufan tadi. Memang tidak sakit, tetapi berhasil membuat Gempa menggeram gemas.

"Aduuh. Kalian ... kenapa, sih, suka banget ngelakuin itu ke aku?!" Gempa melotot.

"Undurin diri dari ketos." Halilintar menitahkan dengan wajah dingin.

FragmenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang