• Tolong

391 39 21
                                    

WARNINGS
CRINGE
• Bila sedang membaca cerita ini, disarankan jangan sambil makan apapun. Cukup melek dan bernapas saja.

Selamat berimajinasi!

••••••

"Bang Lintar jahat, Gempa nggak sekuat itu."

"Maaf. Tapi, kamu bisa, Gem."

••

"Kak Taufan kenapa tega banget sama Gem? Gempa salah apa, kak?"

"Gem. Maafin, kakak. Tapi, ini karena kamu sendiri."

••••••

Gempa yakin sudah sekitar tiga menit dia berjalan. Namun, tempat yang ia pijak tidak pernah berubah. Semua sama dengan tumbuhan aneh berwarna hitam tegak sedikit keriting yang jumbul dari permukaan lembab berwarna putih mendekati krem. Tumbuhan itu sangat tinggi dan terlihat awut-awutan hingga Gempa sendiri sulit untuk memandang ujungnya dan menatap langit. Sungguh, sangat meresahkan bagi Gempa yang tidak tahu di bagian bumi mana dia berada.

"Ini aku di mana, sih? Padahal mau pulang ke rumah, kok jadi nyasar gini?" monolog Gempa bingung.

Bagaikan dunia fantasi, Gempa sungguh tidak paham dengan tempat ini yang bahkan baru kali pertama dia lihat. Sangat aneh dan mengerikan. Seperti tidak ada kehidupan. Gempa berpikir bahwa tempat ini adalah hutan. Namun, di sini tidak ada sembarang hewan satupun. Hanya ada suara angin bertiup sejuk, sisanya kosong. Walaupun wujud tempat ini begitu jelek—kata Gempa, tetapi udara yang dihasilkan amat semerbak, mampu menggelitik paru-parunya.

"Ini gimana kalo Bang Lintar sama Kak Upan nyariin? Kalau aku telat pulang, bisa-bisa aku kena hukum. Mana HP-ku rusak lagi." Gempa mengeluh lelah.

Akhirnya, dikarenakan sudah tak sanggup melanjutkan langkah, Gempa duduk beristirahat sejenak. Mengipas-ngipasi lehernya yang mulai memanas. Entah perasaan Gempa saja atau memang dia merasa bahwa alas yang dia duduki mulai bermunculan air. Menyadari itu, Gempa berdiri dengan celana yang agak basah.

"Ini apaan? Ini banjir?!" Gempa panik. Netranya mengedarkan pandangan. Air itu hampir menenggelamkan sepatunya jika saja tumbuhan-tumbuhan di sana tidak menyerapnya. Gempa baru saja mengucap syukur kala telah diselamatkan oleh tumbuhan aneh, sebelum semerbak yang tadi Gempa puji-puji lenyap seketika dan bersilih bau tak sedap yang menyerang alat pernapasannya dengan cepat.

"Asem banget baunya!"

Gempa menutup hidung. Bau itu semakin menjadi. Belum lagi air yang rupanya bertambah banyak. Seketika satu gejolak Gempa rasakan dalam perutnya.

'Abang, kakak, tolongin Gempa.'

Harapan Gempa hanya satu, yaitu tetap bahagia untuk kedua saudaranya jika dia harus pergi saat ini juga. Gempa bersyukur dapat menjadi adik dari mereka. Jikapun dia harus berpisah, Gempa harap di kehidupan berikutnya, dia dipertemukan kembali bersama mereka dan hidup bahagia, serta menjadi seorang kakak.

'Nggak tahan. Tolong,' batin Gempa lirih.

Gempa terbatuk. Rasa pusing berkunang-kunang mulai menggerogoti kepala Gempa. Dia merasa melayang-layang akibat aroma tak berperikemanusiaan itu.

Semesta tahu Gempa itu kuat. Namun, tidak dengan yang satu ini.

'Maafin Gempa, abang, kakak, bunda, ayah, atok, Energen."

Bruk!

•••

"Gawat, gawat, cepet!!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FragmenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang