• Ei-Way-Ei-Em-Yam

376 45 61
                                    

"Gemgem!"

Suara dobrakan pintu terdengar. Gempa yang sedang bermain ponselnya lantas menoleh ke sumber suara. Blaze, adik pertamanya berlari dan memeluk Gempa erat. Gempa mengernyit saat mengetahui bahwa Blaze sedang menangis terisak. "Hey, Blaze. Kamu kenapa?"

"Ice ... jahat, Gem ...," ucap Blaze bergetar pelan seraya mencoba menyeka air matanya. Napasnya terdengar pendek. "Energen matihihii."

Gempa dibuat semakin bingung dan heran. Kedua alisnya bertaut. "Jahat kenapa? Kamu diapain? Coba cerita. Siapa Energen?" bujuk Gempa. Tangannya mengelus lembut surai Blaze, mencoba menenangkan. Jujur saja, Gempa paling tidak suka melihat saudaranya ada yang menangis karena jika begitu Gempa jadi ingin ikut menangis juga.

Isakan Blaze terdengar lebih keras. Dia mengelap ingus, lalu mendongakkan kepalanya untuk menatap Gempa yang tengah tersenyum lembut ke arahnya. "Ice kejam banget, Gem." Blaze terisak. "Ma-masa dia nyembelih paksa ayam Blaze." Lagi, Blaze terisak.

"Hah?" Mata Gempa sedikit melebar. "Kok bisa? Maksudku, ya, ngapain? Bukannya Ice itu malas, ya, kalau disuruh kerja berat, kayak nyembelih ayam?"

Wajah Blaze memerah. Dia memalingkan muka ke arah pintu kamar. "Ng-nggak tahu. Blaze tadi nolak waktu Ice izin mau minta ayamnya satu. T-terus kita berantem." Suara Blaze bergetar. "Ice menang. B-blaze di-dikurung di kandang ayam. A-ayamnya ... si Energen terus di-disem-disem." Napas Blaze tercekat. Tangannya memegang dadanya erat. "Di-disem-di-disem." Blaze menunduk dalam. Rasanya dia tidak kuat untuk melanjutkan kalimatnya.

Gempa melongo sejenak, sesabar mungkin dia menunggu ucapan Blaze. "Disembelih?"

"Di-disem, disembelih di depan mata Blaze, Gem!" Tangis Blaze kembali pecah. Dia sesegukan. "Mu-mukanya tengil banget waktu ngelakuin itu. Ha-hati Blaze sakit, Gem. Sakit banget." Blaze memeluk Gempa semula.

Lengkungan bibir Gempa berubah ke bawah. Dirinya ikut merasakan sedih sekaligus sakit mendengar pernyataan Blase yang begitu dalam. Sesayang itukah Blaze dengan ayamnya. Gempa mengelus punggung dan kepala Blaze pelan—menyalurkan kehangatan. "Ice nggak biasanya kayak gini. Kamu yang kuat, ya, Blaze."

"Gemgem percaya, 'kan, sama Blaze?" tanya Blaze pelan.

"Iya, Blaze. Gem percaya, kok." Tangan Gempa tidak berhenti melakukan kegiatannya. Waktu terus berjalan hingga suara isakan Blaze mereda. Gempa berujar, "Blaze istirahat dulu di sini, ya? Gempa mau ngecek Ice dulu."

Blaze menurut. Dia melepaskan pelukannya dan beralih ke guling milik Gempa.

•••

"Ice?" panggil Gempa pelan. Memang benar adanya Ice sedang sedang mengurusi ayam. Di belakang rumah dekat kebun, Ice tengah menyabuti bulu ayam sendirian. Gempa sedikit tercengang melihat itu, apalagi raut wajah Ice yang sangat serius tidak biasa.

Ice menoleh. Dia tersenyum simpul sambil melambaikan tangan ke arah Gempa—meminta agar kembar ketiga itu menghampirinya. Ice sudah menduga, pasti Blaze akan mengadu dengan Gempa. Jadi, dia tidak kaget bila tiba-tiba Gempa menemuinya.

"Kamu kenapa tiba-tiba banget nyembelih ayam?"

Ice terkekeh. "Tadi, Ice nggak sengaja liat ayam Blaze. Ayamnya gemuk sama lucu. Jadi, ya, karena gabut Ice potong aja ayamnya. Lagian ini ayam 'kan udah tua, jadi daripada mati mending Ice sembelih. Sayang kalo mati, nanti nggak bisa dimakan." Panjang lebar nan enteng Ice menjelaskan. Kedua tangan Ice masih dengan kegiatannya. Kepalanya digoyangkan ke kanan-kiri seolah sangat menikmati kegiatannya.

Mendengar tuturan Ice yang amat langka, membuat Gempa tercengang—heran sekaligus takjub dengan kelakuan adiknya. Gempa tersenyum pasrah. "Tapi 'kan Blaze nggak mau. Nangis kejer, tuh, anaknya, lho."

FragmenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang