• Sayang

387 39 9
                                    

"Bang Hali lebih sayang aku apa Kak Taufan?" Mumpung sedang berduaan di kamar, Gempa bertanya iseng kepada Halilintar. Niatnya hanya untuk menjahili kakak sulung yang katanya tsundere alias hati berkata ini tetapi mulut berkata lain.

Halilintar tidak langsung menjawab. Dia berpikir sebentar. "Taufan, sih."

Kendatipun suara Halilintar terdengar datar, tetapi hal itu membuat Gempa agak terkejut. Sedikit tidak percaya saja dengan respons Halilintar yang sangat di luar ekspektasi Gempa. Manik emas Gempa memperhatikan Halilintar yang sedang sibuk dengan ponsel pintarnya. "Hmm, gitu? Alasannya apa?"

Benda pipih di tangan Halilintar dilempar ke atas kasur oleh si empu. Kedua tangannya bersedekap dada seraya melirik ke arah Gempa sesaat. "Gimana, ya? Dia selalu ada untuk aku. Selalu ngehibur dengan tingkah gilanya. Nggak tahu kenapa dia kayak cocok banget buat tempat curhat kalo aku lagi sedih ataupun kesel." Halilintar mendengkus geli. Kalau Taufan mendengarkan penuturannya, pasti dia bakal menunjukkan senyum bangga berlagak.

Gempa terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan. Dia menatap lurus jendela kamar yang bebas dari gorden, menampakkan pohon rambutan dengan buahnya sekali. "Iya, sih. Gempa setuju. Kak Taufan selalu punya seribu dua cara buat bikin orang di sekitarnya tersenyum. Dan Gempa pernah menjadi objeknya." Seketika Gempa membayangkan wajah kakak kedua dengan senyum cengengesannya.

"Walaupun jahilnya udah kelewat kronis, dia nggak bakal buat saudaranya tersakiti." Manik merah itu memandang ke arah adiknya. "Kamu tahu, Gem? Waktu kamu dibuli, garangnya dia keluar begitu aja. Ngelepasin bogemannya ke pembuli. Keliatan banget kalo dia amat benci sama orang yang berani nyakitin saudaranya. Dia tengil, tapi peduli. Makanya, aku sayang banget sama dia, bahkan lebih daripada kamu. Satu lagi, dia jarang marah dan hampir nggak pernah ngambek."

Lagi-lagi Gempa dibuat tidak berkutit dengan kata-kata Halilintar yang mungkin saja baru didengarkan. Barangkali saja Gempa baru mendengar Halilintar berbicara sepanjang itu dan tentang Taufan yang baru saja Halilintar bahas memang benar sekali. Gempa tidak bisa menyangkal.

Namun, dari awal, kata-kata Halilintar berhasil menyentil hati mungil Gempa. Gempa merasa dia jarang ada untuk kedua saudaranya, Gempa yang jarang melipur mereka, dan Gempa yang tidak jarang mengambek. Gempa merasa bahwa dia sangat kontradiksi dengan kakak keduanya. Bernala-nala hal tersebut, membuat suasana hati Gempa sedikit merosot.

"Ya, Gempa sepakat sama Bang Hali. Kak Taufan emang yang terbaik." Gempa mengakhiri perbincangan ini karena sepertinya dia tidak mampu untuk melanjutkan. Takut-takut barangkali dia bakal menangis sebab Gempa sadar jika dirinya cengeng—ralat bukan cengeng, hanya saja Gempa terlalu lembut hatinya dan lagi-lagi berkebalikan dengan kakak keduanya yang hampir tidak pernah menunjukkan air mata.

Gempa mencomot ponselnya yang tergeletak di atas nakas dekat kasur. Pura-pura sibuk padahal dirinya hanya takut kepada Halilintar jika mengetahui bahwa hatinya sedang tidak dalam keadaan baik.

Namun, Halilintar lebih pintar dari Gempa. Jangan kira Halilintar seperti apa yang diharapkan oleh Gempa. Mereka saudara dan bersama dari zigot hingga sekarang. Halilintar tahu, selain Gempa bahagia, Gempa juga akan memanggil namanya sendiri ketika Gempa sedang murung. Semua punya cara tersendiri untuk mengungkapkan rasa jahilnya. Begitupun dengan Halilintar. Dia tersenyum miring. "Gem? Iri, ya?"

Gempa sedikit tersentak dan melirik Halilintar. "Kenapa harus iri? Semua yang udah dibilang sama Bang Hali mengenai Kak Taufan emang bener, kok. Gempa nggak bisa iri karena Kak Taufan sendiri juga berperilaku sama ke Gempa." Dia menarik ujung bibir secara paksa.

"Gem? Dicariin juga. Katanya mau minta ajarin Bahasa Inggris? Ayo ke ruang tamu!"

Dalam hati Gempa bersorak bercampur lega. Taufan—kakak keduanya menyembul dari balik pintu kamar. Gempa bersyukur tidak perlu memutar otaknya lagi jikalau Halilintar melempar pertanyaan yang malah akan membuat dirinya merasa lebih terpuruk. "Oh, ya! Bentar Kak Taufan. Kakak duluan, Gempa nyusul." Gempa dengan cepat mencari buku yang akan dia gunakan.

Taufan hanya mengangguk. Mata biru langitnya melirik Halilintar yang ternyata sedang meliriknya juga. Taufan tersenyum sinis, sedikit memancarkan aura menantang, tetapi tentu saja dengan niat main-main. "Apa lo? Gue ganteng, ya?"

"Kata Mak Wawa, sih, gantengan gue." Halilintar menjawab dengan nada datar.

"Mata Mak Wawa 'kan, minus, Li." Taufan tertawa keras, lalu beranjak pergi.

Halilintar mendengkus geli. Bibirnya sedikit berkedut. Hal itu tidak luput dari pandangan Gempa sejak tadi. Sedikit kagum timbul dari diri Gempa ketika Taufan dengan mudahnya membuat orang di sekitar senang, walaupun kesenangan sederhana.

"Kenapa, Gem? Kayak tiba-tiba badmood gitu?" Jangan kira kalau Halilintar tidak bisa membaca mimik wajah seseorang. Dia ahlinya, ngomong-ngomong.

"N-nggak ada, kok. Udahlah Gempa ke ruang tamu dulu."

"Ngambek, ya?" Halilintar tersenyum nakal. Hobi sekali memang mengganggu adik bungsunya. "Kayak anak kecil kalo ngambek nggak mau bilang alasannya kenapa."

Halilintar memang berhasil memancing emosi Gempa. Namun, Gempa cukup mengatasi dengan respons tenang, "Gempa cuma nggak nyangka aja sama jawaban Bang Hali tadi. Padahal Gempa kira Bang Hali bakal jawab gini, "Nggak ada. Aku sayang kalian berdua. Nggak ada lebih-lebih."," ucapnya dengan menirukan gaya nada bicara datar Halilintar. Setelah itu, Gempa berjalan ke luar kamar, tetapi terhenti di depan pintu ketika mendengar Halilintar bertutur atas ujarannya.

"Kalo udah tahu jawabannya, kenapa nanya?" Halilintar tertawa. "Perkataanku tadi tentang Taufan emang bener. Tapi bukan berarti kamu itu sebaliknya. Kamu ada perannya sendiri. Dan aku emang sayang sama kalian dengan porsi yang sama. Nggak ada lebih. Kalau aku jelasin apa peran kamu buat aku selama ini, mungkin panjangnya bakal jadi satu novel." Begitu penjelasan Halilintar yang diakhiri tawa pelan ketika melihat telinga Gempa memerah.

"I-iseng aja, sih. Y-ya udah, lah." Gempa dengan cepat menutup pintu dari luar kamar, meninggalkan Halilintar yang tertawa lagi—kali ini lebih keras suaranya. Halilintar selalu berhasil. Salah satunya sekarang dia berhasil membuat Gempa tersenyum cengengesan.

'Bisa aja Bang Hali.'

Tamat.

•••

Bonus

"Oi. Fokus napa? Senyum-senyum mulu?"

"Hehe, maap. Gimana bacanya tadi?"

"Encourage."

"En-kau-rej."

"Sip!"

"Kak Taufan. Kakak lebih sayang aku apa Bang Hali?" Gempa iseng lagi bertanya.

"Bang Hali, sih."

Tuh, tidak beda dengan Halilintar. Apa Gempa akan merasa dongkol lagi kemudian senang? Atau malah sebaliknya, tetap konstan? Kali ini Gempa menyesal telah bertanya.

•••


Ocehan pikiran

Trio Ori lagi, hehe. Kesimpulannya Bang Hali sama-sama sayang sama dua adeknya, yaa, nggak ada yang lebih. Kalau Taufan, dia masih misterius(づ ̄ ³ ̄)づ

Ada kritik dan saran (krisar)?

Terima kasih sudah mampir dan membaca karya Sasa! Kalo suka, vote ya! Makasih, sayang!

May, 2024

FragmenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang