September 1994
Langit Senja Wicaksono, seorang mahasiswa berusia 21 tahun, memiliki idealisme yang kokoh. Dia tak hanya mencintai menulis, tetapi juga haus akan pengetahuan dan keadilan. Sebagai anak pertama dari Pak Joko dan Bu Siti, ia dibesarkan dalam lingkungan yang kaya akan diskusi kritis dan pemikiran mendalam. Pak Joko adalah seorang penulis lepas yang sering mengangkat isu sejarah dan gerakan sosial. Di rumah, ia selalu menanamkan nilai keberanian dan pentingnya menyuarakan kebenaran pada Langit. Sebaliknya, Bu Siti, seorang guru yang sabar dan penuh kasih, menanamkan kejujuran dan empati dalam diri Langit, mengingatkan anaknya untuk selalu berjuang dengan tulus.
Malam-malam di rumah mereka kerap dipenuhi oleh diskusi panjang tentang kondisi bangsa yang semakin mengkhawatirkan, terutama masalah ketidakstabilan ekonomi dan korupsi politik yang merajalela di bawah rezim Orde Baru. Dalam obrolan itu, suara tegas Pak Joko terdengar menggema di ruang makan. Kali ini, ia berbicara serius kepada Langit, yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
Pak Joko menghela napas panjang, memandang putranya dengan tatapan penuh keyakinan. "Kamu tahu, Langit," ucapnya perlahan, tapi dengan suara yang jelas, "perubahan itu tidak datang dengan sendirinya. Kalau kamu merasa ada yang salah, maka harus ada yang bergerak untuk mengubahnya. Dunia ini berjalan karena ada yang berani melangkah duluan."
Langit mengangguk pelan, merasakan beban besar dari kata-kata ayahnya. "Aku paham, Pak. Tapi, kenapa harus aku yang mulai? Kenapa tidak orang lain?"
Pak Joko tersenyum kecil. "Kalau semua berpikir seperti itu, Nak, tidak akan ada yang terjadi. Lihat saja sejarah. Semua perubahan besar, semua perlawanan terhadap ketidakadilan, dimulai oleh mereka yang berani memulai langkah pertama. Mungkin langkah itu kecil, tapi jika dilanjutkan dengan keyakinan, ia akan menjadi besar."
Langit menatap ayahnya, merasa ada bara semangat yang mulai tumbuh di dalam dirinya. "Aku hanya ingin memastikan, Pak, kalau langkahku ini benar-benar berarti. Aku ingin perubahan yang bisa dirasakan banyak orang, bukan sekadar perlawanan kecil."
Pak Joko mengangguk bangga. "Dan itu mungkin terjadi, Langit. Tapi kamu harus tahu risikonya. Setiap langkah menuju perubahan itu punya harga yang harus dibayar. Jangan pernah lupakan itu." Pak Joko meletakkan tangannya di bahu Langit, menatapnya dalam-dalam. "Kami selalu mendukungmu, Nak. Tapi kamu harus tahu, berjuang tanpa tujuan jelas hanya akan membuatmu terombang-ambing."
Langit tersenyum, merasakan dukungan kuat dari ayahnya. "Aku janji, Pak. Aku akan melangkah dengan tujuan yang jelas. Aku akan hati-hati."
Di sudut ruangan, Bu Siti memperhatikan percakapan mereka dengan cemas, namun matanya penuh kasih. Ia mendekati Langit dengan langkah pelan, lalu menyentuh bahunya lembut. "Langit," ujarnya pelan, namun penuh kelembutan, "Ibu tahu kamu punya tekad besar, dan kami bangga padamu. Tapi, tolong tetap hati-hati, Nak."
Langit menoleh ke arah ibunya dan tersenyum kecil. "Ibu, aku tidak akan membuat Ibu khawatir. Aku akan selalu hati-hati."
Bu Siti mengusap kepala Langit dengan lembut, sambil sesekali menarik napas panjang, seperti menahan perasaan cemas. "Ingat, Langit, perjuangan itu berat. Kadang kala, kamu akan merasa lelah, merasa sendirian. Tapi kamu tidak sendiri. Kami ada untukmu. Dan jangan lupa, selalu ada cara untuk menyuarakan pendapat tanpa harus menyakiti siapa pun."
Langit mengangguk, merasakan kedamaian dari nasihat ibunya. "Terima kasih, Bu. Aku tahu Ibu selalu ada di sisiku. Aku akan melakukan yang terbaik, aku janji."
Bu Siti tersenyum, memeluk Langit erat. "Berjanjilah, Nak, untuk selalu pulang ke rumah ini. Apa pun yang terjadi."
Bulan Purnama Wicaksono, adik perempuan Langit yang berusia 16 tahun, memperhatikan percakapan kakak dan orang tuanya dari balik dinding ruang makan. Ia adalah siswi SMA yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu, selalu mengikuti perkembangan diskusi-diskusi di rumah mereka. Suatu hari, ketika Langit dan Bulan tengah berada di perpustakaan, Bulan membuka percakapan, menunjukkan rasa penasarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Bercerita 1998
Historical FictionTerinspirasi dari Novel "Laut Bercerita" karya Leila S Chudori, "Langit Bercerita 1998" adalah cerita fiksi sejarah yang berlatar belakang pada era pra-reformasi di Indonesia, mengikuti perjalanan seorang mahasiswa idealis bernama Langit Senja Wicak...