1998
Indonesia sedang berada dalam badai besar. Pemilu 1997 yang menobatkan Golkar sebagai pemenang membawa keresahan mendalam bagi rakyat, terutama bagi partai oposisi seperti PPP dan PDI. Ketidakpuasan menggumpal. Dua kekuatan itu bersatu dalam koalisi "Mega Bintang," melawan dominasi partai kuning. Ketegangan politik terus meningkat, diperparah oleh krisis ekonomi yang mengguncang pada akhir tahun 1997 hingga 1998. Rupiah jatuh bebas, harga-harga kebutuhan pokok melambung, gelombang PHK menerpa di berbagai sektor. Rakyat dipaksa bertahan di tengah kepedihan. Di sisi lain, Soeharto kembali menduduki kursi kepresidenan untuk ketujuh kalinya. Keputusan ini, yang dibuat dalam Sidang Istimewa MPR, terasa sebagai lelucon pahit bagi rakyat yang lelah.
Langit dan kawan-kawannya dari Hikari tidak bisa berdiam diri melihat penderitaan rakyat yang semakin parah. Bersama ribuan mahasiswa dan masyarakat, mereka turun ke jalan, menggemakan protes, dan berjuang agar suara mereka terdengar di tengah kebisingan politik yang penuh ketidakadilan.
Langit berdiri di depan kerumunan demonstran, matanya memandang penuh keyakinan ke arah Gedung DPR. “Kita di sini bukan untuk diri kita sendiri,” serunya dengan suara lantang. “Kita di sini untuk semua yang terlupakan, untuk mereka yang haknya dirampas, untuk masa depan yang layak kita perjuangkan bersama!”
Kerumunan mulai bersorak, terdorong oleh semangat Langit. Beberapa orang mengangguk dengan mata yang berkilau harapan, seolah-olah kata-kata Langit mengisi mereka dengan keberanian yang telah lama hilang.
“Kita tidak bisa terus diam!” lanjut Langit. “Kita harus memastikan bahwa ketidakadilan ini tidak akan terus berjalan. Kita harus melawan!”
Mila, yang berada di dekatnya, menatap Langit dengan perasaan bangga yang bercampur kecemasan. “Hati-hati, Langit,” bisiknya sambil menggenggam tangan Langit. “Aku akan selalu ada di sini mendukungmu.”
Langit menatap Mila, memberi senyum kecil penuh ketenangan. “Terima kasih, Mila. Kamu kekuatanku. Jangan takut, kita akan melalui ini bersama.”
Saat langkah mereka semakin dekat ke Gedung DPR, kerumunan demonstran itu dihadang barikade aparat yang tampak siap dengan perlengkapan anti-huru-hara. Aparat mulai melontarkan gas air mata dan menembakkan peluru karet ke arah mereka.
Langit berteriak di tengah suara tembakan yang memekakkan telinga. “Tetap maju! Jangan takut! Ini demi masa depan kita!” suaranya bergetar, memancarkan semangat yang luar biasa.
Namun, gas air mata mulai menyelimuti udara, membuat banyak orang terbatuk dan mata mereka perih. Langit berusaha keras melindungi teman-temannya. Ia menarik Galang yang hampir jatuh dan memeluk tubuhnya agar tak terinjak oleh massa yang panik.
“Kita harus tetap bersama!” Langit berteriak di tengah kepanikan. “Jangan ada yang terpisah!”
Dian, yang berada tak jauh dari mereka, mulai terbatuk keras, wajahnya memerah akibat gas air mata yang perih. “Aku… aku tidak bisa bernapas!” serunya dengan nada putus asa.
Langit segera mendekati Dian, mengulurkan tangannya. “Pegang tanganku, Dian! Kita harus tetap kuat. Jangan menyerah sekarang!”
Di tengah kekacauan, Langit tiba-tiba merasakan tangan-tangan kasar menariknya dengan paksa. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, beberapa tentara datang dan menyeretnya. Ia berusaha melawan, meronta sekuat tenaga.
“Lepaskan aku! Aku tidak melakukan apa-apa!” teriaknya sambil berusaha melepaskan diri. Namun, kekuatannya tak sebanding. Tentara-tentara itu menyeretnya menuju sebuah truk militer, suara teriakan Langit tenggelam dalam hiruk-pikuk kerusuhan yang semakin membesar.
Langit merasa hatinya penuh dengan ketakutan. Ia menatap kerumunan teman-temannya yang semakin menjauh, wajah-wajah yang tak bisa ia saksikan lagi. Tiba-tiba bayangan wajah Mila, keluarganya, dan semua yang ia cintai terlintas dalam benaknya. Ia menutup mata, menguatkan hati meski tubuhnya dipenuhi rasa cemas yang tak terelakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Bercerita 1998
Historical FictionTerinspirasi dari Novel "Laut Bercerita" karya Leila S Chudori, "Langit Bercerita 1998" adalah cerita fiksi sejarah yang berlatar belakang pada era pra-reformasi di Indonesia, mengikuti perjalanan seorang mahasiswa idealis bernama Langit Senja Wicak...