Langit terbaring lemah di sudut selnya, tubuhnya penuh luka dan rasa sakit yang tak kunjung reda. Malam itu, seorang tentara mendekat, wajahnya berbeda dari yang lain.
"Kita harus segera keluar dari sini," bisik tentara itu dengan nada mendesak.
Langit mengerjap, bingung namun penuh harapan. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara lemah.
"Kamu harus keluar dan pulang dengan selamat," ujar tentara itu sambil membantu Langit berdiri. "Kita tidak punya banyak waktu."
Dengan cepat, tentara tersebut memapahnya keluar dari kamp, mengendap-endap di antara bayang-bayang, menghindari patroli penjaga dan kamera pengawas. Mereka berjalan selama berjam-jam hingga tiba di sebuah rumah aman di pinggiran kota.
"Aku bagian dari kelompok pro reformasi," tentara itu menjelaskan saat mereka tiba di tempat yang aman. "Kami berusaha mengungkap kebenaran di balik Operasi Mantap Jaya, operasi rahasia yang dipimpin oleh Tim Mawar untuk membasmi 'Setan Gundul'."
Langit mendengarkan dengan cermat meskipun kondisinya sangat lemah. "Mereka tidak akan berhenti sampai kita semua hilang," tentara itu berbisik dengan nada serius.
Langit disembunyikan di sebuah rumah aman selama sehari semalam. Tentara tersebut merawat luka-luka Langit, memberinya makanan dan air. "Kamu harus bertahan. Negara ini semakin kacau, tapi rakyat semakin berani melawan tirani," kata tentara itu sambil membalut luka di lengan Langit.
Langit merasa sedikit lebih baik, meskipun tubuhnya masih lemah. "Apa kabar teman-temanku?" tanyanya dengan suara gemetar.
Tentara itu menundukkan kepalanya, kemudian dengan suara lirih mengungkapkan, "Teman-temanmu telah dieksekusi mati di pulau terpencil dan dibuang ke laut."
Berita itu menghancurkan hati Langit. "Tidak mungkin...," bisiknya sambil menahan air mata.
Keesokan harinya, tentara tersebut mengatur agar Langit bisa dikembalikan kepada keluarganya. Dengan bantuan beberapa rekan tentara pro-reformasi lainnya, Langit dibawa dengan mobil yang dikamuflase sebagai kendaraan militer resmi.
"Jangan bicara apa-apa kepada siapa pun tentang ini," tentara itu mengingatkan sebelum mereka berangkat. "Ini demi keselamatanmu dan keluargamu."
Mereka melewati beberapa pos pemeriksaan dengan hati-hati hingga akhirnya tiba di rumah orang tuanya. Tentara itu memandang Langit dengan mata penuh harapan. "Ini bukan akhir dari perjuanganmu, Langit. Tetaplah kuat."
Langit mengangguk, kemudian melangkah keluar dari mobil dengan bantuan tentara tersebut. "Terima kasih," ucapnya sebelum tentara itu pergi.
Sesampainya di rumah, Keluarga Langit terkejut dan lega melihat putranya kembali. Bu Siti segera memeluk Langit dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. "Langit, anakku...," isaknya penuh haru.
Pak Joko, meskipun merasa cemas, mencoba tetap tenang. "Kita harus segera merawatnya, kondisinya sangat buruk," kata Pak Joko dengan suara gemetar sambil memanggil dokter.
"Jangan khawatir, kita akan merawatmu dengan baik," ujar Bu Siti sambil mengusap rambut Langit yang kusut.
Bulan, adik Langit yang selalu peduli, ikut mendekat. "Kakak, kamu harus kuat. Kami semua di sini untukmu," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Langit hanya bisa tersenyum lemah, merasakan kehangatan keluarganya. "Aku di sini sekarang, Ibu, Ayah, Bulan," bisiknya sebelum akhirnya jatuh pingsan karena kelelahan.
Kondisi Langit sangat kritis, tubuhnya lemah dan demam tinggi. Pak Joko dan Bu Siti segera membawanya ke rumah sakit. Langit jatuh sakit parah akibat penyiksaan dan mengidap pneumothorax yang memperparah kondisinya. Mila segera datang ke rumah sakit, mendampingi Langit dengan penuh kasih sayang dan doa. Bulan selalu berada di samping Mila, memberikan dukungan moral.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Bercerita 1998
Historical FictionTerinspirasi dari Novel "Laut Bercerita" karya Leila S Chudori, "Langit Bercerita 1998" adalah cerita fiksi sejarah yang berlatar belakang pada era pra-reformasi di Indonesia, mengikuti perjalanan seorang mahasiswa idealis bernama Langit Senja Wicak...