3. Cinta dan Perjuangan

56 12 1
                                    

Di tengah kesibukan perjuangan, Langit sering mencari ketenangan di perpustakaan kampus, tempat yang selalu memberikan rasa damai di tengah kesibukan dan ancaman yang mengintai. Suatu sore, ketika sedang membolak-balik buku tentang sejarah pergerakan mahasiswa, ia mendapati seorang mahasiswi yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Mahasiswi itu adalah Mila Aulia Suryani, seorang mahasiswi pindahan dari Bandung yang tampak sibuk mencari buku di rak yang sama. Tatapan mereka bertemu sejenak, dan Mila memberikan senyuman kecil yang ramah.

Sambil tersenyum, Mila membuka percakapan. “Apa kamu juga sedang mencari buku tentang gerakan mahasiswa?” tanyanya dengan nada hangat.

Langit, yang sedikit terkejut karena disapa oleh seseorang yang baru ia temui, mengangguk sambil mengangkat buku yang baru ia temukan. “Iya, aku sedang mencari referensi untuk artikelku,” jawabnya, mencoba tetap tenang meski ada sedikit getaran aneh di hatinya.

Mila tersenyum lebar, terlihat semakin tertarik. “Oh, kamu menulis artikel? Tentang apa?”

Langit merasa antusias. “Tentang perlawanan mahasiswa terhadap ketidakadilan. Aku ingin menunjukkan betapa pentingnya suara kita, walaupun terkadang kita diremehkan.”

Mila mengangguk, wajahnya berubah serius. “Kamu benar. Suara kita sangat penting. Apalagi sekarang, saat banyak kebenaran disembunyikan. Aku juga tertarik dengan hal-hal seperti ini, itulah mengapa aku ingin ikut terlibat.”

Langit tertarik dengan keseriusan Mila. “Kalau begitu, kamu harus datang ke pertemuan kami di Kintsugi. Aku yakin kamu akan suka berdiskusi dengan teman-teman di sana.”

Mila tersenyum, matanya berbinar. “Aku tertarik dengan apa yang kalian lakukan. Kalau kamu izinkan, aku ingin bergabung dan membantu perjuangan ini.”

Hari demi hari berlalu, dan pertemuan-pertemuan singkat di perpustakaan kampus menjadi semakin sering. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari buku hingga situasi politik yang semakin memanas. Suatu hari, Langit memperkenalkan Mila kepada Yuda, Arya, dan anggota Kintsugi lainnya di sebuah pertemuan kecil.

“Teman-teman, ini Mila. Dia mahasiswi pindahan dari Bandung, dan dia ingin bergabung dengan kita di Kintsugi,” ucap Langit sambil menatap Mila dengan bangga.

Mila tersenyum penuh semangat dan melambaikan tangannya pada semua orang. “Saya senang sekali bisa bergabung dengan kalian. Saya ingin ikut serta dalam perjuangan ini.”

Yuda, dengan ekspresi antusias, merespons, “Selamat datang, Mila! Perjuangan kita mungkin tidak mudah, tapi semakin banyak yang berani bersama, semakin kuat kita!”

Arya, yang berdiri di samping Yuda sambil memegang kameranya, mengangguk setuju. “Setiap orang yang datang untuk bergabung adalah keberanian baru bagi kita semua. Mila, jangan pernah ragu untuk bersuara.”

Mila menatap mereka semua dengan mata berbinar. “Terima kasih. Aku akan melakukan yang terbaik untuk membantu. Aku percaya bahwa dengan bersama-sama, kita bisa membuat perubahan.”

Di rumah, Bulan dengan cepat menyadari kedekatan kakaknya dengan Mila. Gadis itu mulai sering mendengar kakaknya menyebut nama Mila dalam cerita-ceritanya, bahkan tampak bersemangat setiap kali menceritakan pengalaman baru mereka.

Suatu malam, saat Langit pulang dari pertemuan, Bulan menyapanya dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Kak, jadi sekarang ada teman spesial di pergerakan kalian ya?” tanyanya sambil tersenyum nakal.

Langit tersenyum malu dan mengangguk pelan. “Mungkin, Bulan. Dia… berbeda. Aku merasa tenang ketika bersamanya. Seolah-olah aku bisa menghadapi semua ini dengan lebih kuat.”

Langit Bercerita 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang