Hari berlalu, pagi ini, Akiel diantar ke sekolah dengan sang kakak. Jika kalian mencari tiga manusia yang sejenis itu, silakan tengok sendiri jawabannya.
“Besok aku jemput ya, Akel,” ujar Ajisaka dengan senyum manisnya. Akiel yang mendengarnya hanya mengangguk singkat.
Berbeda dengan dua orang lainnya, mereka memasang wajah tak terimanya. Sepasang alis keduanya sama-sama menukik, menatap elang yang paling muda.
“Nggak, lah! Akel sama gue,” tekan Sekala.
Haduh..
Lagi-lagi, Akiel menghela napas lelah mendengar keributan yang diciptakan oleh ketiga pemuda itu.
“Nggak–”
Baru Jemian membuka mulut, Akiel dengan cepat memotongnya dan mendelik padanya.
“Apa? Mau ribut sekalian?”
Ketiganya memilih untuk kicep dan tak berani berucap. Takut jika akan dimusuhi oleh si manis yang sedang tak bersahabat.
“Maaf udah marah-marah. Besok aku dianter sama Abang, okay? No ribut-ribut, ya. Baikan buru,” suruhnya dengan lebih lembut.
Ketiganya melengkungkan bibir ke bawah. Dengan muram, mereka saling berjabat tangan.
“Hitungan ketiga bilang ‘maaf’. Satu, dua, tiga.”
“Maaf.”
“Good.” Akiel mengacungkan jempolnya ke arah sekumpulan lelaki lainnya.
Jika Akiel pikirkan kembali, terlihat sangat lucu karena dirinya seperti memiliki tiga anak kucing sekarang ini. Akiel pun terkikik kecil di dalam mobil.
“Sekolah yang bener, Adek. Jangan pacaran mulu. Nanti istirahat jangan lupa makan. Kalau belum ada temen deket, minta temenin sama Ren, ya. Terus–”
“Ih, Abang bawel, deh! Iya-iya, Adek udah denger itu berkali-kali tau.” Mark pun tersenyum singkat.
Ia merogoh dompetnya dan mengeluarkan lembaran uang berwarna biru untuk diserahkan kepada sang adik. Akiel yang melihatnya menjadi bingung.
“Adek udah dikasih uang saku, Abang. Buat apa ini?”
“Nggak papa, disimpen uangnya buat jajan nanti.” Mark mulai menata poni lucu Akiel. Senyumnya kembali merekah setelah melihat penampilan sang adik yang menurutnya masih menggemaskan.
Setelah Mark mengusak pelan rambutnya, Akiel pun keluar dari dalam mobil. Ia celingak-celinguk menatap sekeliling, kemudian berjalan sendirian menuju ruang kelasnya.
Tiba-tiba, bahunya ditepuk ringan yang membuatnya refleks menengok ke belakang. Tak ada siapa pun. Kini tubuhnya mulai meremang.
“BWA!”
Akiel berjengit kaget kala kembali menatap ke depan. Ternyata pelakunya adalah manusia berinisial A. Siapa lagi kalau bukan Ajisaka.
Ia menatap datar pemuda tersebut, kemudian berjalan meninggalkan Ajisaka yang malah menertawakannya.
Sebuah tangan menahan lengannya dengan gesit. “Hehehe, maaf. Yuk, ke kelas barengan.” Akiel pun menghela napas dan pasrah saja ketika bahunya diarahkan untuk berjalan bersamaan.
•••
Akiel dikejutkan dengan seseorang yang tengah mengulurkan tangannya saat ini. Ia terkejut karena pemuda tersebut benar-benar tinggi. Ajisaka saja sudah ia anggap tinggi, lantas harus disebut apa lelaki di depannya ini?
“Hai, belum sempet kenalan, nih. Siapa namanya kemarin? Akiel? Akel? Gue Satya.”
Selesai dengan keterkejutannya, Akiel balas bersalaman dengan Satya. Ia mulai tersenyum ramah.
“Halo, Satya! Aku Akiel, panggil aja Akel, oke?”
Kalau boleh jujur, Satya sedikit terpana melihat lengkungan mata Akiel yang menurutnya indah. Berbeda dengan pemuda di sebelahnya yang memberikan tatapan menusuk padanya.
“Mau duduk sama gue, nggak?” tawar Satya.
Akiel pun memekik senang dan langsung menduduki bangku kosong di sebelah Shaka. Namun, Ajisaka memandangnya dengan tatapan sulit percaya. Ia kembali menatap tajam Satya yang malah tersenyum miring padanya.
“Jisa, kamu duduk belakang aku, ya?”
“Kamu duduk sama aku, Akel.” Terdengar tak ingin dibantah, tetapi dihiraukan begitu saja oleh Akiel.
“No, aku baru aja kenalan sama Satya. Kamu duduk sendiri dulu, oke?”
Ajisaka pun berdecak malas dan mendudukkan dirinya pada bangku di belakang Akiel. Ia terus-terusan memantau interaksi keduanya.
Guru mata pelajaran matematika sudah menampakkan batang hidungnya pada ruang kelas tersebut. Satya pun mengeluarkan buku paket miliknya.
“Satya, buku paketnya boleh barengan dulu, nggak? Aku belum dapet,” pinta Akiel dengan muka melasnya.
“Boleh dong.” Satya mencubit pelan pipi pemuda manis tersebut. Sontak saja Akiel membulatkan matanya.
“Pipi lo lucu, kayak bakpao.”
“Nggak, ya!” sanggah Akiel yang membuat Satya tertawa karena merasa gemas.
Bagaimana kabar lelaki lain yang duduk sendiri di belakang itu? Jelas, ia merasa sangat kepanasan melihatnya.
Ajisaka memilih untuk menenggelamkan kepalanya pada meja. Tak menghiraukan penjelasan sang guru, ia pun mulai memejamkan kedua matanya berniat untuk tidur saja.
•••
Satya Mahardika
•••
[ favosunchenle on twtX ]
[ curiouscat.live/favosunchenle on profile ]
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGNETIC | Chenle Harem
Fanfiction[a] bersifat seperti magnet (sehingga dapat menarik). Akiel Denandra baru-baru ini kembali menetap di kota yang menjadi tempatnya hidup saat kecil. Ia mengikuti sang kakak yang ingin tinggal sendiri atas izin kedua orang tuanya. Dan tak disangka, Ak...