Rumah tanpa ibu, kita bisa apa? Takdir memang kejam ya? Bisakah aku merasakannya sekali lagi? Bisakah aku memiliki keluarga Cemara seperti dulu?
🥀🥀🥀
"Anak tidak berguna!"
PLAKKKKKKKK
Wajahnya menoleh ke samping kiri, pemuda itu mengepalkan tangannya dan langsung menatap benci kepada pria tua yang ada di depannya ini.
"Kak Wahyu!" Aurel berlari memeluknya. Dia menangis terisak-isak, takut jika saudaranya disakiti lagi.
"Berhenti bersahabat dengan anak Sanjaya! Saya tidak bisa membiarkan ini. Saya akan membuat perhitungan!" tegasnya." Dan kamu, berhenti ngedekatin anak Sanjaya. Ngerti kamu!?"
Aurel tersentak kaget. Bahkan, tubuhnya gemetaran. Wahyu menatap sinis, senyuman miring mulai terlihat dibibir tipisnya. "Jangan pernah, meninggikan nada bicara lo terhadap Aurel!"
"Jangan sok ngatur kamu! Buat adik kamu sadar, berhenti mendekati anak si Sanjaya!" teriaknya dengan emosi yang membara.
"Aurel punya kebahagiaan tersendiri, lo gak berhak mengatur kebahagiannya!"
"Anak kurang ajar! Karena kamu! Adik kamu menjadi pembangkang! Durhaka sama orang tua!"
Telinga Wahyu semakin memanas, semoga saja dia tidak kelepasan dengan memukul ayah kandungnya. Pria tua itu sudah muak berbicara dengan kedua anaknya yang pembangkang. Langsung saja dia naik ke atas, menuju kamar dengan emosi yang tak karu-karuan.
Aurel terlihat ketakutan, membuat Wahyu mengelus-elus puncak rambutnya dengan lembut. Aurel mendongak ke atas menatap sendu wajah saudaranya. Gadis itu merasa kesakitan, saat melihat tamparan yang diberikan sendiri oleh ayah kandung mereka yang egois dan gila kekuasaan. Air mata Aurel seketika mengalir deras, Wahyu langsung menggelengkan kepalanya.
Wahyu menyeka air matanya. "Jangan nangis."
"Pipi kakak merah, bibir kak Wahyu berdarah," ucapnya lirih.
Wahyu terkekeh geli. "Ini cuma luka kecil, gue udah terbiasa dengan ini."
Aurel semakin terisak dalam tangisnya. Wahyu langsung menyentuh pipi gadis itu menggunakan kedua tangannya. "Hey!? Kenapa nangis? Hem?"
"Kak Wahyu drama! pura-pura tegar! padahal aslinya, hancur banget..." seru Aurel dengan ingus yang sudah keluar.
"Gue gapapa hancur atau pun kesakitan, asalkan... lo gak disakitin."
Merasa tertegun dengan perkataan kakaknya, Aurel langsung memeluk Wahyu dengan erat. "Andai saja mama masih hidup..." gumam Aurel. "Pasti papa gak akan egois," lanjutnya.
Wahyu menatap lirih, bingkai yang terpajang tinggi di atas sana. Di sana, sudah ada foto keluarga kecilnya yang sedang menempel ditembok. Senyuman mereka amat ceria, hangat, dan tentram seperti keluarga cemara. Namun, ternyata hanya bersifat sementara.
Wahyu membantin rindu. "Mama..."
Wahyu melirik wajah pria tua yang sedang memperlihatkan deretan gigi rapihnya. Tangannya mengepal kuat, air matanya mengalir deras. Ayah yang tidak mengerti! Selalu haus harta! Gila kekuasaan! Selalu melampiaskan emosi kepada anaknya! Bagi Wahyu, tidak apa jika dirinya yang diamuki, tapi adiknya? tidak! itu tidak akan terjadi!
"Udah waktunya tidur."
Aurel melepaskan pelukannya. "Kak Wahyu gak tidur?"
"Tidur."
Aurel menurut, tanpa berbicara membuka suara lagi. Gadis itu pergi meninggalkan Wahyu yang masih mematung di tempatnya. Wahyu melangkahkan kakinya, di suatu tempat. Entah kemana pemuda ini akan pergi. Pintu itu mulai terbuka, menampilkan isinya yang sangat kotor dan banyak sekali barang di dalamnya. Ruangan gelap itu adalah gudang, yang dimana pria tua itu membakar semua kenangan milik ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEWARA THE SERIES (On Going)
Teen Fiction(TAHAP REVISI) Menyukai salah satu dari hambamu... apakah kami dapat dipersatukan? Atau akan berpisah karena berbeda keyakinan? Tak ku sangka, kita menyukai gadis yang sama. Lantas? Apakah saya harus mengalah? Dan membiarkanmu hidup bersamanya? Sang...