2. Temperament Jena

117 69 48
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.

TANDAI TYPO

Berbeda dengan situasi rumah Adnan yang selalu dipenuhi keributan setiap harinya, rumah Damares justru memiliki vibes yang positif. Adem dan tenang.

Halamannya yang bersih sekaligus luas benar-benar menyejukkan pandangan siapapun yang lewat. Apalagi pepohonan besar yang hidup di sekitarnya turut menambah keasrian rumah minimalis tersebut. 

Saat ini Aksen tengah menyirami rerumputan di halaman depan karena hari sudah menjelang siang.

"Aish, jinjjaa!"

(Jinjja = sungguh)

Suara dari sebrang jalan menyita perhatian Aksen. Ia spontan menatap ke arah sumber suara dan mendapati Jena sedang marah-marah sembari berkacak pinggang.

"Kenapa pake sobek segala, sih? Nyusahin aja jadi sampah!"

"Tinggal dibuang doang, segala bikin darting orang dulu!"

"Shibbal sekiyya!"

*Pada tau kan artinya? Isi sendiri, haha. (Jangan deng)

Kemudian seorang ibu-ibu datang sembari menenteng dompet di tangan kirinya. Sepertinya mau belanja.

"Loh, Mbak Jena?" Kehadiran ibu-ibu itu sempat mengejutkan Jena yang masih mengomeli sampahnya. "Udah dua Minggu nggak keliatan, kerja dimana sekarang?"

Di tanya seperti itu membuat Jena cengo lantas tersenyum kaku. Dia menggaruk tengkuknya yang mendadak gatal akibat keringat. "M-masih di rumah, Bu Meta."

Bu Meta terlihat shock. "Loh, yakin selama dua Minggu cuman di rumah aja? Nggak bosen sama sekali tah?"

Jena menggeleng pelan, bingung mau menjawab apa. Akibat jarang keluar rumah membuat dirinya sulit berinteraksi dengan orang lain.

"Kalo kamu mau, di perusahan tempat kerja anak Ibu kemaren lagi cari karyawan pemagang," ujarnya memberi info. "Kamu daftar gih, keburu diambil orang. Lumayan loh gajinya, daripada kelamaan nganggur kan, cuma jadi beban orang tua."

Mendengar itu Jena spontan merutuki dirinya. Sial. Harinya benar-benar sial. Seolah tidak cukup dengan kejadian di dalam rumah karena Hana, kemudian Aksen, dan sekarang ibu-ibu satu ini yang terlalu mengusik hidupnya.

Memang kenapa kalo dia jadi beban orang tuanya? Toh, dia juga tidak minta nasi di rumah-rumah tetangga.

"Kalo gitu saya pergi dulu. Mau belanja." Penuturan Bu Meta membuyarkan lamunan Jena. Gadis itu membungkuk sopan dengan senyuman tipis di wajahnya.

Setelah kepergian Bu Meta, Jena menghela napas kasar. Mengibaskan tangannya di area wajah yang mendadak panas.

"Wahh! Baru tau gue ada tetangga modelan kaya gitu," ujarnya. Kalimat terakhir Bu Meta yang berbau sindiran tadi masih terputar jelas di kepalanya.

Unriquited Love (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang