SEBUAH PESAN

367 39 4
                                    

Aromanya mengabar tenang di penciuman sebelum ujung cangkir itu menyentuh bibir yang kering. Pak Wi dan Bima tengah menikmati teh melati yang disuguhkan Bu Wati. Lalu tak lama, Rahayu menyusul membawa makanan ringan seadanya.

"Monggo mas.." Rahayu mempersilahkan.

Tak hentinya, Bima menatap wajah ayu kembang desa itu. Hingga akhirnya Pak Wi memecah suasana.

"Silahkan mas, mohon maaf jika hanya seadanya.."

"Oh.. iya pak, terimakasih. Ini sudah lebih dari cukup."

Selepas berbincang kecil, Bima mulai menyampaikan tujuan ia datang ke kediaman tersebut sesaat setelah Bu Wati dan anak gadisnya kembali masuk.

"Jadi maksud saya menemui Pak Wi saat ini untuk menyampaikan pesan dari bapak saya, Pak Surya." Bima membuka pembicaraan secara perlahan untuk menjaga suasana yang sudah terbangun nyaman saat itu.

"Bapak berpesan kepada saya untuk menanyakan biaya sewa yang beberapa waktu ini belum dibayar oleh Pak Wi."

"Hmm.. jadi benar dugaan saya." Pak Wi sedikit pasrah dengan keadaannya. "Tunggu sebentar ya mas.." Pak Wi lantas masuk, dan tak seberapa lama kembali keluar.

Setelah menarik nafas panjang, dengan perlahan pula Pak Wi menjelaskan "Sebelumnya saya sampaikan permintaan maaf saya terlebih dahulu mas, atas kelalaian saya sehingga membuat Mas Bima sampai jauh-jauh datang kemari. Kemudian saya sampaikan maaf untuk kedua kalinya, karena dana saya yang ada belum bisa untuk membayar sewa secara penuh. Bukan saya mencari-cari alasan, tapi mohon untuk sedikit saja memberikan pengertiannya terlebih dahulu ya mas.."

Bima nampak serius menyimak. Dan setelah Pak Wi menyeruput tehnya, ia melanjutkan kembali.

"Beberapa tahun terakhir ini, keuangan keluarga saya bisa dikatakan cukup sulit lantaran kerap gagal panen dari hasil kebun. Berbagai kejadian yang saya alami di kebun juga membuat saya tidak habis pikir. Kerap kali saya mendapati hasil kebun saya habis tak tersisa sebelum saya panen. Selain itu ada juga kejadian lain yang membuat kerja keras saya, tidak saya dapatkan keuntungannya. Jangankan untung, balik modal saja tidak mas. Padahal sumber penghasilan saya dan keluarga bergantung pada hasil kebun yang nantinya kami jual di pasar." Pak Wi beberapa saat terdiam.

Ia menoleh, memperhatikan foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tamu sebelum ia lanjut berbicara. "Saya pribadi juga sebenarnya sedang membutuhkan biaya lebih untuk anak bungsu saya, karena menurut dokter di puskesmas anak saya harus dibawa ke rumah sakit. Katanya kemungkinan besar ada tumor di perut anak saya. Dokter itu menyarankan supaya segera diperiksa lebih lanjut karena belum bisa dipastikan tumor itu jinak atau ganas." Pak Wi membendung air matanya yang meluap-luap sebelum akhirnya ia seka.

"Hmmm.. maaf yah mas, saya terlalu banyak bicara."

"I.. iya pak, tidak apa-apa." Bima bingung di tengah suasana tersebut. Dirinya tidak tahu harus berkata apa.

"Tolong nanti sampaikan saja ke Pak Surya, awal bulan nanti saya usahakan untuk melunasi kekurangan biaya sewanya."

"Baik pak.. nanti saya sampaikan. Saya bisa memahami kondisi Pak Wi dan keluarga saat ini. Semoga nanti bapak bisa memahaminya juga. Syukur-syukur nanti bisa diberikan jalan keluar." Jawab Bima menenangkan Pak Wi.

"Terimakasih mas" ucap Pak Wi lega mendengar jawaban Bima.

Bima mengangguk. Beberapa saat mereka terdiam. Khususnya Bima yang mulai mempersiapkan diri untuk menyampaikan tujuan lain ia datang. Setelahnya, ia memberanikan diri untuk berbicara.

"Oh iya pak.. jadi selain menyampaikan pesan dari bapak, saya pribadi juga ada tujuan lain datang kemari."

Pak Wi terkejut mengetahui ada tujuan lain dari pemuda di hadapannya itu.

Lelaki Pelawan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang