Dimensi Tak Tersadar Bimantara

478 55 4
                                    

Matanya perlahan terbuka. Diamatinya tempat dia saat ini berada. Riuh serangga malam seketika jadi hening. Hitam pekat awan membungkam bintang dan rembulan. Gelap. Bima memicingkan kedua matanya untuk kembali meraba kondisi sekitar. Sesekali ia mendengar ranting kering patah, seolah ada orang lain selain dirinya.

Dingin angin bisa jadi menusuk hingga sumsum tulang, namun tidak bagi Bima. Suasana malam itu begitu sunyi dan mencekam. Tempat apa ini? Dirinya bertanya- tanya. Di tengah itu, suara ranting patah kembali terdengar. Meski setengah ragu, ia mulai melangkahkan kaki. Rerimbunan daun ia singkap. Dalam setiap langkah, pikirannya berkecamuk.

Apakah keputusan yang ia ambil itu benar atau tidak, sebab ia tak tahu apa yang diikuti. Semakin lama, suara ranting patah itu semakin tipis terdengar. Membuat Bima harus semakin bergegas.

Jauh langkah Bima mengejar. Jantungnya berdegup kencang. Nafasnya mulai terengah-engah. Rasa paniknya mendorong untuk sesegera mungkin sampai. Setengah berlari ia mengejar dengan harap-harap cemas. Namun semakin jauh ia melangkah, sumber suara itu tak kunjung l didapati. Bima merasa hanya berputar- putar tak tentu arah. Tenaga dan pikirannya terkuras. Kini suara itu justru nyaris tak terdengar, tanda semakin jauh. Di tengah keputusasaannya Bima terkejut.

"Ssttttt.." Terdengar suara seseorang memanggil dengan isyarat. Bima menghentikan langkahnya, memastikan kembali apa yang baru saja ia dengar.

"Ssttttt.. hihihi" Kembali, suara itu seperti menggoda Bima dalam kepanikannya, kali ini diikuti dengan tawa kecil.

Pandangan Bima beralih ke arah semak belukar di mana suara itu muncul. Beberapa saat ia memperhatikan, kemudian perlahan ia memberanikan diri untuk melangkah.

Di hadapan semak-semak itu Bima hanya berdiri. Ia merasa kejadian semacam ini bukan hal yang asing baginya. Namun seberapa keras pun ia mengingat, pikirannya tak dapat menjelaskan. Beberapa saat ia melamun, hingga pada akhirnya,

"Krrreeekkk.." ranting patah kembali terdengar.

Bima tersadar dari lamunannya. Seketika Bima menoleh, dan saat ia akan beranjak mengejar kembali, tiba-tiba tangan Bima dicengkeram erat. Bima terperanjat, jantungnya mendadak berdegup begitu kencang. Belum sempat ia berpikir tangan siapa yang muncul dari balik semak-semak itu, Bima ditarik menembus lebatnya semak belukar.

Dengan tenaga yang masih tersisa, ia berlari mengimbangi sosok yang membawanya. Sampai ketika sosok yang menarik Bima itu melompati sungai kecil, Bima sama sekali tak memiliki kesiapan. Ia terperosok jatuh. Tubuhnya tersungkur sebab kakinya tak lagi memiliki daya.

Sembari mengatur nafas, mata Bima berkeliling ke seluruh penjuru. Hanya gelap yang masih nampak. Namun ada yang aneh menurutnya. Ada sebuah rumah di belantara hutan tak bertepi. Sungguh sesuatu yang tak bisa disangka-sangka. Sosok tersebut kini mengulurkan tangan menawarkan bantuan untuk Bima.

Meski ragu, Bima menyambutnya. Kemudian tanpa sepatah kata pun, sosok itu membawa Bima masuk ke rumah kecil itu. Dalam pikirnya
bertanya-tanya, apakah perempuan ini pemilik rumah tersebut? Batinnya berkecamuk antara lega karena ada orang lain selain dirinya, dan was-was sebab Bima juga tak mengenal siapa
perempuan itu.

Rumah yang begitu sederhana. Dindingnya dari anyaman bambu. Penerangannya terbatas,
hanya ada satu lentera di setiap ruangan. Ruang tamu, ruang tengah dan ruang makan nampaknya dijadikan satu. Mata Bima masih berkeliling.

Di ruang tersebut, ia menerka bahwa di balik pintu berdaun tirai yang ia lihat itu kemungkinan adalah kamar tidur dan di bagian belakang sana merupakan sebuah dapur.

Sebelum Bima masuk, ia sempat melihat bilik kecil di depan rumah. Bisa jadi itu adalah sumur dan tempat untuk mandi. Setumpuk kayu bakar juga tersusun rapi di samping kursi panjang bagian teras. Perlahan dirinya mulai tenang, meski masih sedikit waspada.

Lelaki Pelawan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang