TOH?

194 16 1
                                    

#21 hari setelah hari pernikahan

Pagi sudah tidak begitu pagi. Bima masih menikmati secangkir kopi yang disajikan sang istri. Hari minggu adalah waktu yang sangat disukai oleh Bima untuk merelaksasi diri dari penatnya siklus pekerjaan. Apalagi dengan kehadiran Sedayu yang kini selalu menemani hari-harinya.

“Mas.. sarapannya sudah siap.” Sedayu melaporkan.

“Siap. Tapi tunggu Ibu dulu yah.. tadi katanya mau keluar dulu sebentar. Sini, temani mas dulu.” Pinta Bima.

“Baik mas” Sedayu duduk dan menyandarkan kepalanya di pundak Bima.

Untuk beberapa saat mereka saling diam. Hingga pada akhirnya Sedayu membuka obrolan.

“Bagaimana kopinya mas?”

“Entah kenapa rasa kopi ini begitu nikmat. Ini pakai kopi yang di dapur kan?” Ucap Bima setelah menyeruput kopi.

“Iya, hanya ada kopi itu di dapur mas.”

“Tapi sepertinya lama-lama aku bisa kena diabetes”

“Apa itu mas?” tanya Sedayu penasaran.

“Kamu sungguh tidak tahu?” Bima lebih penasaran.

“Maaf mas.. aku memang tidak sepandai perempuan lain. Aku hanya anak lulusan sekolah menengah pertama saja. Jadi tidak cukup tahu banyak hal.” Perempuan itu mengiba.

“Maaf nimas.. bukan aku bermaksud menyinggungmu. Tapi sungguh, aku benar-benar tidak menyangka saja jika kamu tidak tahu.” Bima memeluk dan meminta maaf.

“Tidak apa-apa mas. Mungkin menikah denganmu bisa membuatku tahu lebih banyak hal juga. Jadi, disabet tadi itu apa?” Tanya sedayu yang masih penasaran.

“Diabetes, nimas.. jadi gampangnya, itu adalah penyakit gula” Jelas Bima.

“Oh.. penyakit gula. Kencing manis itu to? Kalau itu aku tahu mas.”

“Iya.. jadi ini terlalu manis, nimas.” Bima menyampaikan seraya menyeruput kopinya kembali.

“Lho.. bagaimana bisa? tadi kubuat tanpa gula lho mas..”

"Tidak percaya?”

“Sini.." Sedayu mengambil cangkir kopi suami dan meminumnya.

Begitu mulai masuk ke dalam mulutnya, Sedayu melepeh kopi itu,

"Pahit sekali ini mas..ih.. jahat kamu” Sedayu kepahitan lalu memakan kacang yang ada untuk menetralkan rasanya.

“Hahahaha.. lagipula, siapa yang bilang kalau kopinya manis? Kopinya memang pahit. Yang manis itu kamu, nimas..” goda Bima yang masih tertawa puas.

“Halah... gombal” Sedayu melengos dan tampak kesal.

Di tengah kekesalannya, ada sesuatu yang membuat Sedayu penasaran. Ditanyakanlah hal itu ke Bima.

“Mas.. kamu pernah lihat punggungmu?”

“Kenapa nimas?”

“Ih.. ditanya malah balik tanya. Jangan buat aku tambah kesal yah”

“Hm.. kan punggung itu di belakang. Susah jika harus muter kepala buat lihat. Memangnya mas hantu susini”

“Ya tidak juga.. pakai cermin kan bisa."

“Belum pernah, nanti kapan-kapan mas coba lihat. Memang kenapa?”

“Ada tanda lahir di punggungmu mas. Di pundak bagian belakang sih persisnya.”

“Oh.. iya. Kata ibu dan bapak, mas punya tanda lahir yang istimewa di situ. Sebab itu juga mas diminta untuk selalu membaca kalimat-kalimat yang entah apa artinya sebelum tidur. Katanya untuk menjaga…”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lelaki Pelawan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang