19. Pengakuan

94 7 0
                                    

Secerah cahaya timbul dari gelapnya alam semesta. Kehangatan muncul dari dinginnya malam. Dan kelembutan muncul dari kejamnya takdir. Begitulah lingkaran kehidupan. Orang-orang bilang bahwa dunia itu kejam. Tapi bagi Akio tidak, karena sebenarnya rintangan itu yang membuat hidupnya semakin berwarna. Tanpa rintangan itu juga, kita tak akan bisa merasakan betapa berartinya nikmat yang selama ini tuhan berikan.

Bukan berarti ia baik-baik saja dengan semuanya. Berkali-kali ia jatuh bangun dalam perjalanannya. Bahkan saat ini pun, disaat ia tengah berjuang tanpa figur orangtuanya, ia dihadapkan dengan permasalahan lain dengan kondisi medisnya. Belum berakhir disitu, banyak juga rintangan lain yang ia harus hadapi dalam perjalanannya.

Tapi Akio bukan tipe yang cepat terpuruk. Walaupun ia diberikan banyak luka oleh kehidupan, ia selalu punya cara untuk menyembuhkan. Lagipun, ia selalu punya seseorang yang menjaganya, merawatnya dan mengasihinya. Menggantikan figur orangtuanya. Dan baginya itu cukup, hanya Tsuki seorang. Tak ada yang bisa menggantikan.

Akio tatap wajah sosok yang selalu ada untuknya, tapi entah mengapa Akio selalu ragu untuk mengatakan keluh kesahnya. Ia merasa seperti sudah terlalu banyak memberatkan kakaknya, jadi biarlah ia pendam semua keluhannya.

"Lo ngapain liatin gue terus?" Ucap Tsuki sambil mengaduk bubur yang masih agak panas. Ya, tentu saja ia tau. Netra biru itu terlalu cerah baginya untuk tidak diperhatikan. Karena bagi Tsuki, Akio lah hidupnya.

Akio yang kini sudah lebih baik itu tersenyum membalas perkataan Tsuki. Walaupun masih dihiasi dengan nassal canula, tapi bagi Tsuki senyuman itu selalu menghangatkan hatinya. "Jangan marah napa... Kan gue cuma mau liat. Nanti cepet tua kalo marah-marah terus."

"Dasar, lo ya! Baru aja beberapa hari lalu bangun, udah ngajak ribut aja."

Akio tertawa lepas melihat reaksi kakaknya. Melihat sosok itu tersulut emosi seolah bisa melupakan semua rasa sakitnya.

Sementara sosok yang ditertawakan hanya bisa tersenyum dalam diam. Tak bisa dipungkiri bahwa hatinya begitu senang melihat senyuman itu kembali mengambang pada wajah kesayangannya. Rasa takut yang menghantuinya pun telah berangsur-angsur menghilang dan digantikan dengan kelegaan.

"Dah, jangan ketawa terus. Makan dulu, baru habis itu minum obatnya." Tsuki menyerahkan mangkuk berisi bubur itu ke tangan adiknya.

Sementara Akio hanya menatap bubur itu dengan tatapan masamnya. Siapa juga yang suka dengan bubur hambar khas dari rumah pesakitan. Tentu membuatnya semakin tak nafsu makan.

Tsuki yang melihat Akio hanya hanya menatap buburnya itupun kembali duduk disebelah ranjangnya. "Apa lagi? Jangan bilang lo gak mau makan lagi."

Akio tersenyum innocent dan mengangguk. Mau bagaimana lagi? rasanya begitu tak nafsu apalagi setelah melihat bubur hambar yang terlihat mengerikan. Membuatnya bisa merasakannya walaupun belum ada satu suap pun menyentuh bibirnya.

Tsuki yang mengetahui maksud adiknya pun menghela nafas dan kembali duduk ditepi ranjang adiknya juga mengusap lembut surai lebatnya. "Kenapa lagi sih?"

"Ya gak nafsu lah, kak. Siapa juga yang mau bubur hambar begituan? Orang yang sehat aja gak mau kok." Akio cemberut, pun dengan bibirnya yang maju satu meter.

Ekspresi itu tentu membuat Tsuki terkekeh dan geleng-geleng kepala. Disertai dengan cubitan gemas pada pipi gembungnya. "Terus lo maunya apa? Kan memang cuma ini yang ada."

Akio tersenyum. "Kangen masakan kakak."

Tsuki terdiam sejenak. Memang sudah cukup lama ia tak memasakkan makanan untuk mereka. Yah, walaupun ada para pelayan yang biasa memasakkan makanan tapi bagaimanapun juga masakan ala keluarga sendiri itu pasti rasanya berbeda. Apalagi untuk Akio yang kini bisa dibilang lagi sensitif sensitifnya.

[✓] My Brother My HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang